Berbicara mengenai penistaan terhadap agama merupakan tindakan yang mengubah atau merusak inti ajaran agama, mengkritik martabat suatu agama, dengan maksud menurunkan atau mencemooh.
Pengaruh media sosial dalam kehidupan sehari-hari semakin tak terelakkan. Seiring berjalannya waktu, ia membentuk lanskap budaya baru di kalangan influencer dalam mengemukakan pandangan dan norma-norma masyarakat. Sosial media memiliki kekuatan besar untuk membuat influencer bertindak semaunya, dan tak jarang dalam beberapa kasus telah banyak menimbulkan banyak kontroversi. Fenomena- fenomena dalam media sosial mengiringi batas-batas ekspresi artistik, kebebasan berekspresi, serta norma-norma moral dan agama dalam konteks digital modern.
Belakangan ini, sorotan publik tertuju pada salah satu tiktokers yang telah menciptakan sensasi dengan konten kontroversialnya. Fenomena kontroversial tersebut berawal dari seorang jilboobs yang mempublikasikan video makan es krim di depan kemaluan pria, dengan gerakan dan tindakan yang dianggap meniru secara eksplisit gaya tindakan oral seks. Konten yang diunggah ini tidak hanya menuai kontroversi, tetapi juga dituduh sebagai penistaan agama oleh sebagian pihak.
Berbicara mengenai penistaan terhadap agama merupakan tindakan yang mengubah atau merusak inti ajaran agama, mengkritik martabat suatu agama, dengan maksud menurunkan atau mencemooh. Secara keseluruhan, penghinaan terhadap agama meliputi perbuatan merendahkan, mencela, atau merusak prinsip-prinsip keagamaan dan keyakinan umat yang beragam, serta melanggar etika, norma, dan nilai-nilai sosial yang dihormati dalam masyarakat.
Dalam Al-Qur’an, pembahasan penistaan agama sering kali menggunakan frasa al-istihza’ dan al-sukhriyah. Tindakan penistaan atau melecehkan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-istihza’.
Kata al-istihza’ ini berasal dari kata kerja hazza-yahzu yang memiliki arti menghina. Sedangkan al-sukhriyah memiliki makna menghina, merendahkan, mengungkap aib dengan cara menertawakan. Tindakan ini melibatkan perilaku yang merendahkan disertai dengan niat untuk melakukan penghinaan tersebut. Dalam kamus al-Munawwir, kata hazza dan sakhir diartikan sebagai ejekan, mengolok, dan sindiran.
Dalam Al-Qur’an, penjelasan mengenai penistaan agama telah dijelaskan oleh Allah dalam surah al-Ma’idah ayat 58. Dalam situasi ini, ibadah salat menjadi sasaran utama penghinaan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraish terhadap umat Islam. Mereka menganggap bahwa gerakan-gerakan dalam salat merupakan gerakan aneh dan tidak lazim. Dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa ketika orang-orang merendahkan tindakan suci seperti salat (yang dalam ayat ini ditekankan), mereka mungkin tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai agama.
Namun, berbeda lagi jika dilihat dalam konteks fenomena jilboobs makan es krim, tentu tindakan tersebut menyiratkan adegan tidak senonoh dan telah mengeksploitasi simbol-simbol agama khususnya jilbab yang merupakan bagian penting dari identitas keagamaan dalam Islam.
Klasifikasi penistaan agama menurut Quraish Shihab terbagi macamnya berdasarkan sifat pelakunya. Diantaranya disebabkan karena jahilnya (kebodohan) seseorang. Pada zaman Jahiliyah, orang-orang penyembah berhala juga melakukan bentuk “salat” di sekitar Ka’bah, tetapi dengan cara dan makna yang berbeda dari apa yang diajarkan dalam Islam. Dalam Surah al-Anfal [8]: 35, Allah menggambarkan “salat” mereka di sekitar Baitullah sebagai “siulan dan tepuk tangan”.
Sedangkan menurut penafsiran al-Tabari, tindakan yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah ini tidak dapat benar-benar disebut sebagai “salat” atau ibadah, hal ini dianggap hanya bermain dan tidak mengandung dimensi keagamaan yang serius seperti dalam konsep salat dalam Islam.
Kedua ayat Al-Qur’an yang telah dijelaskan menggambarkan kompleksitas dalam menilai tindakan yang mungkin melibatkan penistaan agama. Dalam era Jahiliyah, praktik-praktik yang meremehkan makna suci sudah terjadi, dan Al-Qur’an mengkritisi tindakan tersebut.
Begitu pula dalam kasus fenomena jilboobs makan es krim dengan tidak senonoh, hal tersebut merupakan tindakan yang merendahkan simbol-simbol agama dan mengingatkan kita pada pentingnya menghormati dan memahami nilai-nilai keagamaan dengan mempertimbangkan kebebasan bertindak dalam konteks sosial, baik dalam bermedia sosial maupun kehidupan nyata.
Wallahu A’lam