Pendahuluan
Kebudayaan merupakan sebuah kajian yang begitu luas dan kompleks. Ketika ingin menyelami hakikat dari kebudayaan, sama halnya dengan melakukan penjelajahan terhadap asal muasal terciptanya manusia. Bagaimana tidak, manusia dan kebudayaan merupakan dua aspek yang tidak akan pernah bisa terpisahkan. Kebudayaan akan selalu berhubungan dengan segala sesuatu yang dipikirkan, dialami, dirasakan dan dikehendaki oleh manusia. Dalam artian selama manusia masih ada, maka kebudayaan pun akan selalu ada, terkecuali seluruh umat manusia lenyap berbarengan dengan hancurnya alam semesta. Kemungkinan bisa dikatakan setelah itu kebudayaan akan berakhir.
Dewasa ini kebudayaan mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Pada awalnya manusia meyakini alam sebagai manifestasi dari daya-daya kekuatan yang luar biasa. Bahkan untuk menggambarkan daya dari kekuatan-kekuatan itu, manusia menciptakan mitologi sebagai representasi dari keyakinannya. Sehingga terciptalah suatu fase dimana manusia mulai menyembah dewa-dewa yang dianggap memiliki daya untuk mengontrol dan menguasai alam yang ditinggalinya. Secara kongkrit praktek-praktek kebudayaan di fase ini bisa dicermati dari perilaku manusia yang menyembah patung, memberikan sesajen, meniscayakan keajaiban, bahkan selalu bertindak atas dasar kepercayaanya terhadap mitos-mitos yang diciptakannya. Bisa dikatakan pada fase ini manusia tidak bisa terlepas dari keyakinan-keyakinan akan hal-hal yang dianggap agung dan ada diluar jangkauannya.
Tidak berhenti di situ, manusia yang diberkati akal sedari lahir terus berupaya untuk memikirkan kembali dan mulai menyangsikan keyakinannya terhadap mitologi. Dalam hal ini, manusia secara sadar mulai membicarakan eksistensinya sebagai makhluk yang dikaruniai daya nalar yang begitu tajam dan cekatan. Keinsafan manusia tidak serta merta didapatkan begitu saja, perlu proses panjang untuk sampai kepada fase yang disebut dengan ontologis (suatu fase peralihan dari mitologi).
Dalam fase ontologi manusia mulai bisa mengambil jarak dengan alam dan kekuatan ghaib di belakangnya. Karena rasa penasaran dan keingintahuan manusia tidak bisa dibatasi hanya dengan cerita-cerita mitologi dari kekuatan alam dan dewa-dewa. Mereka mulai mempelajari dan memahami bagaimana alam semesta ini terbentuk secara sadar dengan menggunakan nalar dan pengamatan inderawinya. Bahkan dalam fase ini manusia mulai merasakan ada kekuatan yang lebih dahsyat ketimbang dewa-dewa yang mereka sembah sebelumnya, yaitu Tuhan. Kesadaran akan adanya Tuhan yang mengatur dan menguasai alam semesta berawal dari pertanyaan-pertanyaan filosfis seperti, dari mana asalnya manusia, siapa yang menciptakannya, hingga kenapa Tuhan menciptakan manusia?
Dari fase ontologis yang secara insaf manusia mulai mengetahui dan menyadari eksistensinya, perkembangan kebudayaan tidak berhenti sampai di sana. Selanjutnya manusia mulai bisa membedakan antara peran subjek dan objek. Tentu saja dalam hal ini manusia berperan sebagai subjek. Pemisahan antara subjek dan objek setidaknya memberikan kemajuan yang sangat signifikan dalam perkembangan kebudayaan manusia. Tetapi di lain pihak, kemajuan itu juga memberikan dampak buruk bagi lingkungan, stabilitas alam hingga manusia sendiri. Hal ini dikarenakan ada sebuah stigma bahwa manusia adalah subjek yang mengendalikan sekaligus melakukan objektivikasi terhadap alam dan se-isinya. Seperti buah simalakama di tengah kemajuan kebudayaan yang begitu dinamis, terdapat sebuah kemunduran terutama dalam bidang etika, moral dan nilai-nilai religiusitas.
Ketiga perkembangan kebudayaan manusia yang dipaparkan di atas merupakan representasi dari pemikiran C.A Van Peursen dalam bukunya yang berjudul strategi kebudayaan. Dalam bukunya ini, Van Peursen secara gamblang mengejawantahkan seluk-beluk mengenai perkembangan kebudayaan dari alam pemikiran mitis, ontologis hingga fungsionil. Penting kiranya untuk bisa memahami secara lebih jauh tentang startegi kebudayaan yang digagas oleh C.A Van Peursen. Maka dari itu, penulis tertarik untuk melakukan analisis dan pengkajian terhadap buku strategi kebudayaan yang dicanangkannya. Lantas seperti apa strategi kebudayaan dalam pandangan C.A Van Peursen?
Pembahasan
1. Biografi C.A Van Peursen
Cornelis Anthonie Van Peursen lahir 8 Juni pada tahun 1920 di Belanda. Dia belajar filsafat dan hukum di Universitas Leiden. Pada tahun 1948 mendapatkan gelar Doktor Filsafat. Tahun 1948-1950 menjabat sebagai wakil ketua hubungan internasional Kementerian Pendidikan Belanda. Menjabat sebagai Lektor Filsafat pada Universitas Negeri di Ultrecht, 1953-1960 menjadi Guru Besar Filsafat di Universitas Negeri di Groningen dan sejak 1960 di Leiden. Selain itu, pada tahun 1963 dia juga menjadi Guru Besar di Universitas Kristen di Amsterdam. Pernah memberikan kuliah tamu di Oxford, Wina, Munchen, Roma, Johannesburg, New Delhi, Tokyo, Manila, Pricenton dan California. Dan Beberapa kali memimpin penataran dosen filsafat se-Indonesia di Universitas Gadjah Mada. Buku-bukunya banyak diterjemahkan ke-dalam berbagai bahasa seperti, Prancis, Jerman, Jepang, Ingggris, Spanyol dan Korea. Beberapa juga diterjemahkan ke-dalam bahasa Indonesia seperti “Lichaam, Ziel en Geest” (badan, jiwa dan roh) dan The Stratgey Of Culture (strategi kebudayaan) (Peursen 1988, xxx).
2. Apa Itu Strategi Kebudayaan?
Raymond William salah seorang pendiri Madzhab Birmingham mengatakan bahwa kebudayaan adalah salah satu dari dua atau tiga kata yang paling rumit dan sulit dipahami dalam kamus Bahasa Inggris (Storey 2012, 263). Hal ini juga disampaikan oleh Van Peursen yang mengatakan bahwa ketika ingin memahami hakikat dari kebudayaan sama halnya dengan mendalami hakikat dari manusia itu sendiri. Kebudayaan tidak akan pernah terlepas dari setiap tindakan dan prilaku manusia, karena sejatinya manusia adalah makhluk yang berbudaya (Peursen, Op.cit, hlm, 9)
Van Peursen mendefinisikan kebudayaan sebagai manifestasi dari kehidupan manusia. Karena manusia tidak serta-merta hidup tanpa membuat kebudayaan yang jelas bertolak belakang dengan hewan. Dari mulai manusia mengolah dan menggarap alam, membuat laboratorium luar angkasa hingga memikirkan sistem filsafat dan inilah yang dimaksud dengan kebudayaan. Kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia, seperti cara ia mengahayati kematian dan membuat upacara-upacara untuk memperingatinya, demikian juga mengenai kelahiran, seksualitas, cara-cara mengolah makanan, sopan santun waktu makan, pertanian, perburuan, fashion, arsitektur, kesenian hingga kepercayaan dalam beragama ( Ibid., hlm, 10)
Dalam definisi lain, Bambang Sugiharto mengatakan bahwa kebudayaan adalah sebuah medan pengalaman, sebagai cara manusia mengalami dunianya: cara ia merasakan, menafsirkan, memikirkan, dan mengimajinasikan dunia, dalam proses interrelasi terus-menerus dengan komunitas lain dan dalam aliran waktu dan krangka ruang tertentu. Jadi kebudayaan adalah sebuah proses, proses historis pertukaran dan saling pengaruh yang isinya kompleks dan jamak (B. Sugiharto 2019, 47).
Dari paparan di atas bisa diketahui bahwa kebudayaan merupakan segala hal yang melekat dengan perilaku dan perbuatan manusia. Sehingga selama manusia masih ada, maka kebudayaan tidak akan pernah lenyap. Karena kebudayaan selalu di latar belakangi oleh aktivitas dan kegiatan manusia, seperti berpikir, berimajinasi, mengamati, merasakan, melakukan kontak dengan alam, hingga menafsrikan dunia. Meskipun bisa dikatakan kebudayaan yang dikembangkan oleh setiap manusia pasti akan memiliki keunikan dan perbedaannya masing-masing. Dalam artian untuk mengetahui dan memahami kebudayaan manusia tidak akan mudah dilakukan seperti membalikan telapak tangan. Sehingga sudah semestinya ada strategi khusus untuk bisa memahami, mengontrol dan mengembangkan kebudayaan manusia.
Strategi kebudayaan yang dimaksud oleh Van Peursen adalah rencana yang terdapat dalam setiap lingkungan kebudayaan. Perencanaan kebudayaan begitu penting untuk dikembangkan, karena kebudayaan manusia yang begitu kompleks tidak bisa dipetakan atau dikontrol dengan mudah oleh suatu policy dari pemerintah atau sekelompok ilmuwan dan seniman tertentu. Pada kenyataannya masalah-masalah yang hadir dalam kehidupan manusia lebih luas cakupannya. Seperti, bagaimana manusia menjawab pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidupnya, memahami norma-norma yang mengatur hubungan antara manusia dan lingkungan sosialnya, bahkan manusia dituntut untuk mengenal dan memahami kodrat dari alam, seperti mempertahankan hidup, seksualitas hingga kematian (Peursen 1988, 19). Maka dari itu, startegi kebudayaan memiliki peranan penting dalam mengatur jalannya kehidupan manusia. Hal ini bisa dicermati dalam pengembangan kebudayaan dari fase alam pikiran mitis, ontologis hingga fungsionil.
3. Tiga Fase Perkembangan Kebudayaan Dalam Pandangan C.A Van Peursen
A. Alam Pikiran Mitis
Sebagian masyarakat modern acap kali memandang mitos sebagai sebuah takhayul atau dongeng belaka, sebagaimana penafsirannya terhadap pembuatan candi Borobudur dan kisah Sangkuriang. Bahkan kaum romantik memandang kehidupan manusia di fase mitis masih berjiwa sederhana seperti kanak-kanak dan dunia mereka dipenuhi oleh hal-hal ghaib, sedangkan kaum rasionalis melihat sebagai kondisi irasional atau pra-logis (Ibid., hlm, 35) Lantas apakah kedua pernyataan ini sepenuhnya bisa dikatakan benar atau tepat?
Kedua pendapat di atas tidak seutuhnya benar dan tepat, malah bisa dikatakan salah besar. Karena kedua pendapat di atas keliru dalam memahami alam pikiran mitis. Apabila di kaji lebih jauh alam pikiran mitis justru menyajikan sebuah penyusunan strategi dalam mengatur hubungan antara daya-daya kekuatan alam dan manusia. Seperti yang dikemukakan oleh C. Levi Strauss yang menyajikan aneka ragam gambar dalam bukunya mengenai peristiwa-peristiwa dalam alam pikiran mitis : orang-orang indian yang menghisap pipa, cara suku-suku tertentu memasak dan makan, perdagangan barter hingga mengenai aturan-aturan dalam perkawinan. Malahan secara tegas Levi Strauss mengatakan bahwa justru ciri kekanak-kanakan itu ada dalam kehidupan masyarakat modern yang selalu ragu dan bertanya mengenai hal-hal yang dipresentasikan kepadanya. Sama seperti anak-anak yang kebingungan dan merengek kepada orang tuanya ketika diajarkan membaca dan menulis (Ibid., hlm, 36)
Menurut Van Peursen (1988 : 37) Mitis merupakan cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu ialah lambang-lambang yang mencetuskan pengalaman manusia purba: lambang-lambang kebaikan dan kejahatan, kehidupan dan kematian, dosa dan penyucian, perkawinan dan kesuburan, firdaus dan akhirat. Dalam artian mitis memberikan arah dan menjadi pedoman untuk mencapai kebijaksanaan manusia. Karena melalui mitis manusia bisa berpartisipasi dalam kejadian-kejadian disekitarnya dengan meyakini daya-daya kekuatan alam. Kehidupan manusia pada fase alam pikiran mitis digambarkan oleh Van Peursen dengan sebuah lingkaran bulat utuh sebagai objek dan lingkaran terputus-putus yang mengelilingi subjek, seperti pada ilustrasi di bawah ini:
Dari gambar di atas subjek (S) di kelilingi oleh lingkarana yang terputus-putus, sehingga subjek belum memiliki keutuhan atau kebulatan. Dalam artian subjek selalu terkontaminasi oleh daya kekuatan alam, karena objek (alam) terus mengitari kehidupan sehari-harinya. Selain itu, keterbukaan subjek terhadap alam menandakan bahwa alam benar-benar dibayangkan seperti kekuatan besar yang tidak bisa dikendalikan dan dipahami oleh manusia baik sistem kerjanya ataupun fungsi dan manfaatnya. Namun, setidakanya subjek memiliki keyakinan bahwa dengan mengikuti kaidah-kaidah alam, maka ia bisa hidup dengan tentram. Hal ini dibuktikan dengan keyakinan terhadap mitos-mitos yang diciptakan oleh subjek, sehingga mencuat kepercayaan terhadap para dewa.
Dalam artian alam pikiran mitis tidak bisa hanya dipandang seperti sebuah cerita dongeng sebelum tidur tantang kehidupan manusia, alam dan dewa-dewa di masa lalu yang disembahnya. Lebih jauh daripada itu, dalam alam pikiran mitis terkandung sebuah makna keyakinan dalam setiap tindakan-tindakannya. Seperti upacara-upacara adat, kematian, dan perkawinan. Unsur keyakinan itu menempel dalam pikiran manusia di fase alam pikiran mitis dan akan selalu diimplementasikan melalui perilaku dan tindakannya. Sehingga mitis tidak bisa dianggap sebagai sebuah fase ketidakakilbaligan dari kehidupan manusia. Karena unsur keyakinan manusia terhadap kekuatan alam dengan daya-daya yang mengelilinginya, merupakan manifestasi dari kehidupan manusia yang memiliki keteraturan, keharmonisan, keseimbangan dan terutama perawatan terhadap alam.
Magi sebagai Implikasi dari Alam Pikiran Mitis
Menurut antropolog Edward B. Tylor dan James George Frazer magis merupakan proses untuk mengekspresikan relasi dengan simbol-simbol yang lahir dari konteks sosial budaya, seperti jimat dan kekuatan tertentu (Ansori 2020). Pada dasarnya mitis dengan magi merupakan dua hal yang berbeda. Mitis berhubungan dengan pemujaan-pemujaan terhadap hal-hal yang bersifat trasenden melalui ceirta-cerita yang diyakini, sedangkan magi merupakan suatu bentuk usaha untuk menguasai alam dan manusia dengan mantera-mantera atau upacara-upacara yang bersifat imanen (Peursen, Op.cit., hlm 50). Sebagai contoh, magi acap kali kita jumpai dalam kehidupan masyarakat tradisional di desa saat ini. Di mana sebagain orang masih percaya jika membacakan sebuah mantra-mantra tertentu, seperti “sima aing, sima maung” maka dia akan bisa mengalahkan dan menguasai orang lain. Dalam contoh lain, tindakan magi juga sering penulis jumpai saat musim kemarau panjang dan musim penghujan yang acap kali merugikan hajat-hajat besar dari masyarakat (pernikahan dan penyunatan). Untuk mengantisipasi ekpansi alam, sebagian masyarakat masih percaya kepada dukun-dukun dan mantera-manteranya untuk bisa mencegah terjadinya hujan agar tidak merugikan bagi kepentingan hajat mereka.
B. Alam Pikiran Ontologis
Dalam alam pikiran mitis manusia masih dikuasai dan dipengaruhi secara total oleh hal-hal di luar kediriannya, seperti daya-daya dari kekuatan alam, dewa-dewa bahkan mantera-mantera. Berbeda dengan alam pikiran mitis, dalam alam pikiran ontologis manusia sudah mulai bisa memberikan batasan-batasan terhadap keyakinan-keyakinan akan keagungan dan kekuasaan alam. Rasa cemas dan takut terhadap alam dan dewa-dewa mulai bisa di atasi dengan penalaran-penalaran yang berifat logis. Maka bisa dikatakan bahwa alam pikiran ontologis merupakan fase peralihan dari mitis ke logos.
Lantas apa itu alam pikiran ontologis? Pada dasarnya kata ontologi berasal dari bahasa Yunani yang artinya mengada atau yang ada (being), sehingga fokusnya ditajamkan terhadap hakikat dari yang ada (Blackburn 2013, 622). Dalam pengertian lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari hakikat dari segala yang ada, seperti Thales yang mengatakan air sebagai hal yang paling mendasar dari alam semesta (Tafsir 2016, xxx). Namun, dalam hal ini Van Peursen lebih mengarahkan alam pikiran ontologis sebagai fase peralihan dari mitis ke logos dalam lingkup kebudayaan. Van Peursen mengatakan bahwa dalam alam pikiran ontologis manusia sudah bisa mengambil jarak (distansi) terhadap segala sesuatu yang mengitarinya (daya kekuatan alam). Distansi tersebut merupakan sebuah batasan terhadap objek dengan mulai menafsirkan dan mengungkapkannya dengan pengertian-pengertian yang jelas (Peursen, Op.cit, hlm, 60). Hal ini bisa di lihat dalam ilustrasi gambar di bawah ini;
Dari gambar di atas dapat di lihat bahwa subjek berada di luar lingkaran objek, begitupun sebaliknya. Dalam fase ontologis subjek telah memiliki kebulatan yang artinya tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang ada di luar dirinya. Kebulatan subjek direpresentasikan dalam kedewasaan berpikir secara logis dan rasional. Hal ini dipertegas dengan berkembangnya ilmu-ilmu seperti filsafat, matematika, dan metafisika yang mengambil peran dalam kebudayaan manusia di fase ontologi.
Ilmu-ilmu filsafat yang berkembang di fase ontologi berasal dari kebudayaan Yunani antik seperti dari para pemikir Miletus (Thales, Anaximenes dan Anaximandres), hingga Yunani Klassik dari Sokrates, Platon dan Aristoteles. Matematika juga berkembang pesat setelah kebudayaan dari Yunani banyak di pelajari, tokoh-tokoh matematikawan yang bermunculan seperti Phytagoras, Euclides dan Archimedes. Begitupun dengan metafisika yang kental dalam pemikiran Sokrates, Platon, Aristoteles dan Neo-Platonis seperti Plotinus yang sebagian pemikirannya dijadikan doktrin agama-agama samawi.
Subtansialisme Sebagai Implikasi Dari Alam Pikiran Ontologis
Subtansialisme berasal dari kata subtance bahasa latin yang artinya berdiri di bawah yang lain. Menurut Aristoteles subtansi selalu membutuhkan materi sebagai aksiden untuk bisa berdiri (Blackburn, Op.cit, hlm. 842). Subtansialisme termanifestasikan dalam penolakan terhadap segala sesuatu yang ada di luarnya. Dengan demikian ada sebuah kerenggangan atau keterputusan antara hubungan manusia, alam bahkan dengan hal-hal yang bersifat metafisik.
Ada dua kekeliruan yang diciptakan oleh aliran subtansialisme, yaitu dalam pemikiran dan sikap. Pertama, munculnya suatu pemikiran yang mencoba untuk menekankan bahwa segalanya bisa dipikiran dan digambarkan melalui akal budi manusia. Hal ini nampak jelas dalam pemikiran metafisika Aristoteles yang ditafsirkan oleh para Aristotelian. Di mana mereka mencoba menggambarkan Tuhan seperti pemehat patung, dengan mengandaikan penciptaan alam semesta dan manusia tidak terlepas dari ide, bahan-bahan dan tujuan yang berbeda. Kedua, aliran subtansilaisme melahirkan sebuah sikap individualistis yang menekankan kepentingan pribadi di atas segalanya (Peursen 1988, 76).
C. Pemikiran Fungsionil
Pemikiran fungsionil yang diproyeksikan oleh Van Peursen merupakan sebuah bentuk penggambaran terhadap peralihan kebudayaan dari ontologis ke fungsionil. Jika dalam fase ontologis ada upaya pembebasan dari kungkungan magi, maka pemikiran fungsionil merupakan upaya pelepasan terhadap aliran subtansialisme. Seperti kita ketahui, subtansialisme melahirkan sebuah corak pemikiran dan sikap besar kepala dengan menolak segala susuatu di luar dirinya atas dasar kemapanan akal budi.
Kata fungsi selalu menujukkan pengaruh terhadap sesutau yang lain. Dengan demikian pemikiran fungsionil menyangkut, hubungan, pertautan dan relasi. Lantas hubungan apa dan dengan siapa? Alam pikiran fungsionil berupaya untuk merekatkan kembali hubungan manusia (S) dengan alam (O) (Peursen, Ibid., hlm 85). Karena dalam fase ontologis hubungan manusia dan alam menjadi renggang bahkan terputus. Tetapi, perlu ditekankan bahwa hubungan di sini bukan berarti kembali lagi ke fase alam pikiran mitis yang menyudutkan peran rasionalitas dan fungsional dari manusia, akibat ketakutan dan kecemasan terhadap daya kekuatan alam.
Dalam pemikiran fungsional hubungan manusia dan alam hampir tidak ada batasan apapun. Dalam artian kedua belah pihak saling terbuka satu sama lain. Untuk memperjelas hubungan manusia (S) dan alam (O) bisa kita lihat dalam ilustrasi gambar di bawah ini;
Hubungan antara manusia (S) dan alam (O) nampak jelas dengan adanya relasi yang tidak terbatas. Kedunya terbuka satu sama lain, berbeda dengan fase ontologis yang tertutup atau berjarak dan juga dengan fase mitis di mana subjek begitu silau oleh objek (alam). Keterbukaan subjek terhadap objek memberikan sebuah dampak yang signifikan dalam perkembangan kebudayaan manusia. Seperti dalam ilmu pengetahuan, filsafat, seni, dan teknologi.
Jika dalam alam pemikiran ontologis lebih kental dengan trasendensi, maka pemikiran fungsionil lebih bersifat imanen. Hal ini bisa di tinjau dari sikap subjek yang melihat sesuatu dari kegunaan dan manfaatnya. Dalam artian jika suatu objek secara prkatis tidak memiliki kegunaan atau tidak bisa dibuktikan manfaatnya, maka akan disingkirkan. Sehingga Tuhan yang pada fase sebelumnya (ontologis) dimaknai apriori mulai disangsikan dan dipertanyakan peran dan fungsinya dalam realitas kongkrit. Karena tolak ukurnya bukan lagi pertanyaan mengani “apa itu ada”, tetapi “bagaimana ada itu berfungsi”. Tak ayal jika dalam fase ini berkembang aliran ateisme yang menolak kehadiran Tuhan dalam dunia, dengan alasan Tuhan tidak bisa dibuktikan kehadiran dan fungsinya dalam kehidupan nyata (Ibid., hlm.106)
Faham Oprasionalisme sebagai Implikasi dari Pemikiran Fungsionil
Pada dasarnya paham oprasionalisme adalah pemutlakkan operasi atau cara-cara terhadap segala sesuatu. Oprasionil merupakan tindakan untuk menyiapkan sesuatu untuk dipakai, untuk diikutsertakan dalam proses produksi. Apabila segala sesuatu bisa dioperasi, maka baik itu hewan, tumbuhan bahkan manusia dan seluruh yang ada di alam semesta, bisa dibedah dengan pendekatan ilmiah. Sebagai contoh, manusia dalam fase pemikiran fungsionil dianalisis kejiwaannya melaui tes psikologi untuk diketahui kondisi keimananya, perasaan dan hasrat-hasratnya secara ilmiah (Ibid., hlm. 112). Kemudian muncul sebuah pertanyaan mencengangkan, apakah Tuhan hanyalah proyeksi pikiran dan perasaan manusia yang bisa dibuktikan secara ilmiah melalui tes psikologi?
Di lain pihak upaya penelitian dan percobaan untuk kemajuan dan pengembangan sains semakin gencar dilakukan, meskipun bertentangan dengan etika dan nilai-nilai moral. Seperti percobaan genetik dengan menanamkan sel sprema manusia kepada Simpanse, tikus bahkan se-ekor kambing dan sapi oleh seorang ilmuwan Rusia dan Belarusia pada tahun 2009. Tindakan tersebut bukan tanpa sebab, dengan berasaskan prinsip fungsionil yang mengandaikan kebudayaan sebagai kata kerja, maka konsekuensinya adalah semua teori dan hipotesa harus bisa diverifikasi dan dipraktekkan.
Dalam artian faham oprasionalisme atau tradisi modern memberikan konsekuensi buruk bagi manusia dan kehidupan alam pada umumnya. Karena pada taraf praksis pandangan dualistiknya membagi sebuah kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritual dan material, manusia-alam, dsb. Hal ini telah mengakibatkan objektivikasi alam yang berimbas kepada ekploitasi dan pengurasan secara berlebihan dan semena-mena, yang berdampak terhadap krisis ekologi. Selain itu, pemikiran ini menjadikan ilmu-ilmu empiris-postivistis sebagai standar kebenaran tertinggi yang mengakibatkan niali-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya (Sugiharto 1996, 29-30).
Tak pelak jika paham oprasionalisme menerima berbagai kritik yang salah satunya dilancarakan oleh para pemikir Madzhab Frankfurt seperti Hokheimer dan Adorno. Mereka mengatakan bahwa pemikiran fungsionil atau modern lekat dengan prinsip fondasionalisme yang menekankan kebenaran sains secara objektif. Sehingga tidak bisa melakukan kritik terhadap sesuatu yang ada di luar dirinya (das ding an sich). Dengan keadaan seperti ini pemikiran modern atau fungsionil hidup dengan akal budi instrumental yang dikontrol dan petakan oleh sains (Shindunata 2019, xxx).
Tidak bisa katakan bahwa setiap perkembangan kebudayaan selalu menuju kepada tahap-tahap yang lebih baik dari yang dahulu atau kondisi saat ini lebih mapan dari masa lampau. Karena setiap pertumbuhan kebudayaan tidak lebih baik dari tahap sebelumnya. Kenapa, karena perbedaannya hanya terletak pada sifat dari kebudayaan yang sedang dikembangkan. Dalam artian setiap kebudayaan yang berkembang tidak bisa dilepaskan dari kontribusi kita sebagai manusia (subjek) yang berbudaya. Apabila tolak ukur pertumbuhan dan kemajuan kebudayaan adalah kita sebagai subjek yang berbudaya, maka apakah lahirnya sikap pasif atau taken for granted dari masyarakat modern terhadap ideologi (agama, filsafat dan sains) merupakan implikasi dari kemapanan budaya saat ini?
Sebagian masyarakat modern beranggapan bahwa kebudayaannya lebih baik dan mapan ketimbang manusia primitif (pemikiran mitis) dengan alasan bahwa kebudayaan modern serba canggih, cepat dan mudah serta lebih mengutamakan rasionalitas (kesadaran). Perlu dikatehui bahwa unsur magi yang melekat dalam alam pemikiran mitis juga menempel dalam pemikiran fungsionil atau modern. Bila dalam pemikiran mitis, magi merupakan sebuah usaha untuk menguasai alam dan manusia melalui mantera-mantera atau upacara-upacara yang bersifat imanen yang dikendalikan oleh seorang dukun atau penyihir. Pada fase modern justru unsur-unsur magis sangat kental dan melekat akibat adanya ideologisasi terhadap subjek. Seperti sikap pasif seorang pasien terhadap dokter mengenai penyebab penyakitnya tanpa pandang buluh atau ketaklidan seorang pelajar SMA terhadap aturan sekolah untuk mengahapal lagu kebangsaan dan mengikuti upacara bendera di hari senin sebagai manifestasi kebudayaannya.
Dalam artian kebudayaan selalu bersifat ideologis. Hal ini dipertegas oleh argumentasi seorang pemikir Marxis, yaitu Louis Althusser. Dia mengatakan bahwa ideologi merupakan representasi dari perilaku dan tindakan individu dalam kehidupan nyata. Ideologi membentuk ritual-praktek, adat, pola perilaku, cara berpikir yang di produksi oleh Aparatus Ideologi Negara (ISA): pendidikan, agama yang terorganisir, keluarga, politik, media, industri budaya, dll. Dalam artian, pada dasarnya subjek lahir dan dikonstruk oleh ideologi serta tidak bisa terlepas darinya, begitupun pertumbuhan kebudayaan. Kebudayaan sedari awal diproyeksikan oleh kelas atau kelompok tertentu melalui ideologi dan ditanamkan secara refresif kepada individu-individu (Storey 2012, 125).
Simpulan
Dalam buku ini Van Peursen tidak secara gamblang menjelaskan konsep strategi kebudayaan yang dicanangkannya, bahkan penulis tidak menemukan posisinya dalam setiap fase perkembangan kebudayaan yang digambarkannya. Dia hanya mendeskripsikan kondisi kebudayaan manusia pada fase alam pemikiran mitis, ontologis hingga fungsionil. Tetapi tidak memetakan bagaimana kondisi kebudayaan pada ke-tiga fase itu terbentuk. Karena tidak mungkin kebudayaan ada begitu saja tanpa ada intervensi dan proyeksi dari pihak lain dalam setiap perkembangannya. Sehingga dia tidak memiliki solusi yang tepat dalam membentuk strategi kebudayaan untuk konteks saat ini.
Van Peursen mengatakan bahwa kebudayaan merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia. Perkembangan kebudayaan dari alam pikiran mitis, ontologis hingga fungsionil merupakan representasi dari kehendak manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Namun, Apabila dianalisis lebih jauh kebudayaan selalu bersifat ideologis. Karena keberagaman kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia tidak luput dari nilai-nilai ideologi yang mempengaruhinya. Kepercayaan manusia terhadap dewa-dewa dalam alam pemikiran mitis, tidak terlepas dari proyeksi ideologi dari kerajaan untuk melanggengkan kekuasaannya, karena pada waktu itu ada kepercayaan bahwa raja adalah titisan dewa. Begitupun, perkembangan paham oprasionalisme pada fase pemikiran fungsionil tidak terlepas dari proyeksi ideologis yang diluncurkan oleh kaum borjuis (kapitalis). Dengan menjadikan kebudayaan sebagai kata kerja, maka segalanya bisa dioperasi dan dijadikan komoditas. Dalam artian oprasionalisasi dan komodifikasi terhadap manusia, hewan dan tumbuhan adalah manifestasi dari ideologi kapitalisme yang berkembang pada fase pemikiran fungsionil.
Pada akhirnya kebudayaan selalu bersifat ideologis. Perkembangan kebudayaan dari mulai fase pemikiran mitis, ontologis dan fungsionil selalu di latar belakangi oleh ideologi yang diproyeksikan oleh kelas atau kelompok tertentu.
Daftar Pustaka
Buku :
Ansori, Faizal. 2020: 55. “AGAMA DAN MAGI SEBAGAI ACUAN MASYARAKAT MUSLIM DALAM DUNIA BISNIS DI ERA MODERN.” Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat.
Blackburn, Simon. 2013. Kamus Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Peursen, C.A Van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Shindunata. 2019. Teori Kritis Sekolah Frankfurt. Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama.
Storey, Jhon. 2012. CULTURAL THEORY AND POPULAR CULTURE . London: Routledge.
Sugiharto, I. Bambang. 2019. Kebudayaan Dan Kondisi Post Tradisi. Yogyakarta: Kanisius.
Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme . Yogyakarta: Kanisius.
Tafsir, Ahmad. 2016. Filsafat Ilmu. Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA.
Internet :
Indra Cahya. 2018. 7 Eksperimen yang menyilangkan hewan dan manusia, mengerikan. diunduh pada 26 Maret 2022 dari https://www.merdeka.com/teknologi/7-eksperimen-yang-menyilangkan-hewan-dan-manusia-mengerikan.