Perang siber merupakan fenomena agresi baru yang lahir di zaman modern saat ini. Tentunya semua jenis perang sejatinya selalu membawa dampak negatif yang dominan untuk sebuah peradaban secara umum. Sulit rasanya apabila mengatakan bahwa perang adalah jalan terbaik untuk membasmi kejahatan sekalipun. Akan tetapi, faktanya perang sampai saat ini masih berlangsung, tidak hanya dengan kokangan senjata, tidak hanya dengan ledakan granat, tidak hanya pula dengan peluncuran rudal balistik saja tetapi perang terjadi dengan lebih “elegan” bahkan sangat mungkin sang penyerang mengenakan pakaian tidur saat melancarkan aksinya.
Ancaman siber yang berkoordinat tempur di dunia maya ini tentulah nyata adanya. Dengan kemampuan dan penguasaan serta niat jahat yang hakiki di wilayah IT bukanlah tidak mungkin segenap data-data penting rahasia negara yang menyangkut kehidupan warga negara akan dengan mudah disalahgunakan. Oleh karena itu, cyber warfare ini perlu menjadi perhatian pihak-pihak terkait terutama yang berkaitan dengan masalah hukum internasional dalam bagian hukum perang. Oleh karena itu, Hukum Humaniter Internasional (HHI) mesti menindaklanjuti ancaman siber tersebut karena melihat dampak yang ditimbulkan dari serangan siber ini sangat berbahaya baik untuk individu maupun untuk kedaulatan sebuah negara.
Sayangnya, dalam jurnal “Meninjau Perang Siber: Dapatkah Konvensi-Konvensi Hukum Humaniter Internasional Meninjau Fenomena Ini?” memberikan keterangan terkait HHI yang tidak begitu adaptif dan responsif dengan ancaman yang ditimbulkan oleh serangan siber ini. Dalam hal ini sebenarnya prinsip-prinsip HHI yang berkenaan dengan perang telah diakomodir dalam sebuah kesepakatan bersama yang dilakukan di Jenewa (Konvensi Jenewa) dan juga Konvensi Den Haag, dari sana pula sumber referensi dari butir-butir pasal yang terkandung di HHI dilahirkan. Akan tetapi, Taufiqurrohman, Fahri, Wijaya, Wiranata dalam jurnal yang ditulisnya menyatakan bahwa hal tersebut tidak cukup karena apa yang dibahas dan dimaksud dalam HHI tidak begitu relevan jika dikaitkan dengan perang siber yang masif terjadi di abad ke-21 ini. Sebab, perlu diketahui bahwa dilaksanakannya Konvensi Jenewa serta Protokol Tambahan berlangsung jauh sebelum munculnya internet sebagai objek utama dalam kasus perang siber ini, yaitu pada tahun 1949.
Salah satu yang dapat dikatakan inisiator besar (biang masalah) dalam serangan siber ini adalah apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat, ketika sang Presiden Bush berusaha menggagalkan sistem persenjataan nuklir di Irak dengan menggunakan dua metode sekaligus. Amerika pun pada aksinya melancarkan misinya dengan menyerang sistem keamanan siber yang dimiliki Iraq dan serangan secara langsung melalui pengiriman militer. Tentunya, dengan sumber daya yang dimiliki negara adikuasa tersebut dapat dengan mudah menyelesaikan operasinya untuk menggagalkan program nuklir yang dimiliki oleh Irak. Walaupun hal ini masih menjadi polemik karena banyak pihak yang menuding bahwa Amerika telah melakukan propaganda kepada Irak mengenai senjata nuklir yang sebenarnya tidak pernah ditemukan sampai sekarang.
Sebenarnya, peringatan mengenai ancaman dunia siber telah muncul pada tahun 1990-an awal. Para pakar keamanan internasional telah memberikan pertimbangan strategis mengenai akan lahirnya konsep perang baru yang bahkan tidak melibatkan kontak fisik sedikit pun. Akan tetapi, wacana tersebut harus tenggelam dikarenakan terjadinya serangan 9/11 yang menghebohkan masyarakat dunia saat itu. Hingga pada tahun 2007 wacana tersebut kembali muncul ke permukaan internasional setelah Estonia mendapatkan serangan siber besar-besaran. Sehingga senjata siber telah menjadi ancaman baru di era modern saat ini.
Dengan alasan di atas maka sudah semestinya negara-negara di dunia memiliki regulasi yang dapat mengatur dan mengawasi peristiwa baru tersebut baik secara nasional maupun regulasi yang bersifat universal. Walaupun regulasi yang mengatur kejahatan di dunia maya telah diciptakan tetapi cakupannya hanya masuk pada ranah bisnis saja. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan perubahan perilaku sosial masyarakat dunia, rasanya penting untuk memiliki regulasi dan sistem ketahanan siber terutama di bidang sosial-politik.
Adapun salah satu negara yang proaktif dalam bahasan mengenai kedaulatan dunia digital adalah Prancis. Hal tersebut menurut pemerintah Prancis mesti segera dibahas oleh seluruh pemimpin di seluruh dunia dikarenakan dampak yang bisa terjadi apabila kejahatan siber terus dibiarkan akan sangat berbahaya untuk kelangsungan kehidupan di masa depan. Di sisi lain jumlah pengguna layanan digital internet semakin harinya semakin bertambah dan tingginya tingkat ketergantungan masyarakat dunia terhadap Google, Facebook, Amazon, dan banyak aplikasi lainnya. Berdasarkan hal tersebut, tiada alasan lagi untuk tidak menemukan solusi atas pokok problematika abad ke-21 ini, siber.
Sebagai rujukan mengenai penanganan masalah siber ini nampaknya negara-negara di dunia mesti belajar dari Singapura yang dinobatkan sebagai negara yang memiliki sistem keamanan siber nomor satu berdasarkan Global Security Index yang dirilis oleh International Telecommunications Union pada tahun 2017. Hal tersebut tentunya sebanding dengan upaya yang Singapura lakukan, yaitu dengan memfokuskan anggaran yang mereka miliki ke sistem keamanan dan pertahanan khususnya di dunia maya. Serta, di wilayah kepemerintahannya Singapura sukses menyempurnakan serta memperluas jangkauan dari undang-undang siber dengan tingkat efektivitas yang tinggi selama beberapa tahun ini.
Dalam hal ini HHI sangat memiliki peranan sentral mengenai aturan-aturan yang harus segera dikaji dalam rangka menjaga stabilitas dunia digital. Sudut pandang hukum perang yang masih terpaku pada cara-cara konvensional mesti segera direkonstruksi sehingga prinsip-prinsip dasar HHI dapat terus dijunjung oleh negara-negara di seluruh dunia. Satu hal yang fundamental adalah pendefinisian mengenai senjata dan kejahatan siber yang harus segera dicantumkan dalam HHI sehingga segmentasi pada paradigma fenomena siber ini dapat terpetakan dengan jelas dan nantinya tidak menciptakan ambiguitas atas hal tersebut.
Oleh karena itu, terlebih khusus Indonesia harus sesegera mungkin memiliki aturan dan infrastruktur yang memadai dalam rangka menjaga kedaulatan wilayah digital Indonesia. Pengaturan atas dunia maya atau digital tentunya merupakan tantangan yang tidak mudah tetapi hasilnya akan sangat bermanfaat untuk perkembangan bangsa ini. Terdapat empat fokus yang dapat dijadikan kunci utama untuk memformulasikan ketahanan siber di Indonesia, yaitu pertama mengenai jaminan keamanan data digital. Kedua, pengembangan serta pengaturan terhadap bisnis berbasis digital. Ketiga, melakukan banyak kerja sama dengan banyak pihak karena sifat nirbatas yang dimiliki dunia digital. Terakhir, keempat adalah penegakan hukum berkenaan dengan sanksi terhadap pelaku pelanggaran kedaulatan digital.
Intinya, adalah merupakan tugas dan kewajiban untuk setiap negara untuk mengedepankan prinsip kemanusiaan yang sejati. Apabila penilaian setiap negara terhadap senjata siber ini mengarah pada kesimpulan yang negatif dan melanggar HHI itu sendiri, keputusan untuk menghentikan pengembangan sumber daya digital adalah tindakan yang bijaksana untuk dilakukan.
Sumber : Taufiqurrahman, M. M., Fahri, M. T., Wijaya, R. K., & Wiranata, I. P. (2021). Meninjau Perang Siber: Dapatkah Konvensi-Konvensi Hukum Humaniter Internasional Meninjau Fenomena In? Kawuh Abiyasa, 1, 145-165.