Kejadian seorang perempuan yang melepas cadar berhasil menyita perhatian publik.
Jika dipahami, cadar sejatinya adalah salah satu perbedaan pendapat ulama yang berawal dari status aurat wajah perempuan di depan laki-laki bukan mahram. Sebagaimana dijelaskan:
فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ (الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ ) إِلَى أَنَّ الْوَجْهَ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ وَإِذَا لَمْ يَكُنْ عَوْرَةً فَإِنَّهُ يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَسْتُرَهُ فَتَنْتَقِبَ وَلَهَا أَنْ تَكْشِفَهُ فَلاَ تَنْتَقِبَ.
“Mayoritas ahli fikih berpendapat bahwa wajah bukan aurat. Untuk itu, wanita boleh menutupinya dengan cadar dan boleh juga membukanya tanpa cadar.” (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, XXI/134)
Pendapat yang mengatakan wajah termasuk aurat, sebagaimana pendapat sebagian Mazhab Syafi’i, memutuskan bercadar adalah wajib. Syekh Asy-Syarwani menjelaskan:
وَعَوْرَةٌ بِالنِّسْبَةِ لِنَظَرِ الْاَجَانِبِ إِلَيْهَا جَمِيعُ بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ
“Dan aurat (perempuan) yang terkait dengan pandangan laki-laki lain kepadanya ialah seluruh badannya termasuk wajah dan kedua telapak tangannya menurut pendapat Mu’tamad.” (Hasyiyah asy-Syarwani, II/112)
Sebaliknya, pendapat yang mengatakan wajah tidak termasuk aurat memutuskan bercadar tidak wajib. Bahkan ada yang mengatakan makruh, seperti penjelasan salah satu ulama Mazhab Maliki, Syekh Ahmad Ad-Dardiri:
وَكُرِهَ انْتِقَابُ امْرَأَةٍ أَيْ تَغْطِيَةُ وَجْهِهَا بِالنِّقَابِ وَهُوَ مَا يَصِلُ لِلْعُيُونِ فِي الصَّلَاةِ لِأَنَّهُ مِنْ الْغُلُوِّ…مَا لَمْ يَكُنْ مِنْ قَوْمٍ عَادَتُهُمْ ذَلِكَ
“Makruh bagi perempuan menutup wajahnya dengan cadar yaitu penutup yang sampai mata saat salat karena termasuk berlebihan… selama cadar bukan bagian tradisi setempat.” (Asy-Syarh al-Kabir, I/218)
Untuk itu, Syekh Ali Jum’ah memberi solusi, selayaknya bercadar mempertimbangkan kondisi setempat. Jika berada di wilayah yang lumrah memakai cadar maka tidak masalah mengikuti pendapat wajib bercadar. Sebaliknya, jika berada di wilayah yang tidak lumrah memakai cadar, maka lebih baik mengikuti pendapat tidak wajib cadar. (Al-Bayan, hlm. 353)
WallahuA’lam