Dewasa ini, pembicaraan mengenai “masih worth it kah ORMAWA di kampus?” santer terlihat di banyak kolom media sosial terutama Twitter dan Quora. Tema tersebut agaknya menjadi perhatian yang cukup menarik mengingat budaya organisasi mahasiswa Indonesia yang memiliki nilai historisnya yang cukup melegenda dalam menyongsong kebangkitan bangsa ini dari masa keterpurukan terutama orde baru.
Lantas, kembali ke pertanyaan benarkah ORMAWA sudah tidak laku? Tentu pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan beberapa pendekatan dan juga tergantung untuk siapa pertanyaan ini ditujukan. Dikarenakan, sudah menjadi hukum alamiahnya (nature) bahwa manusia dalam hal ini mahasiswa memiliki pemikiran dan pendapatnya masing-masing sehingga sungguh tidak mungkin jawabannya hanya berkutat pada satu pijakan semata.
Terdapat beberapa hal yang mesti dipahami oleh teman-teman mahasiswa terkait alasan kenapa pertanyaan tersebut bisa muncul ke permukaan sebagai wacana kritis yang mengundang banyak unsur kontemplatif, penelaahan kembali bagi diri seorang mahasiswa yang secara lingkungannya senantiasa digerumuli oleh “ABCD” organisasi baik internal maupun eksternal di kampusnya.
Hal yang pertama adalah terkait dengan MODAL. Menjadi kader atau pengurus organisasi mahasiswa tentunya terkadang kita mesti mengeluarkan beberapa modal baik disadari maupun tidak untuk mendukung keberlangsungan organisasi itu sendiri. Contohnya, modal untuk bikin jas, jaket, kaos, dan sejenisnya yang sudah pasti darisana tentu mengeluarkan modal yang jelas uang.
Walaupun terkadang diberi label “diskon”, “ditanggung sekian persen” tetapi tetap saja ada modal yang harus dikeluarkan. Bagi beberapa orang, ini tentu saja masih batas wajar dan tidak masalah karena sebagai wujud identitas dan eksistensi yang mesti ada. Namun terkadang tidak berhenti sampai disitu, untuk melaksanakan program kerja yang skalanya besar tak jarang para kader atau pengurus organisasi harus dan mesti ikut patungan demi membantu lancarnya acara tersebut, terutama di aspek finansial yang menjadi momok paling menakutkan dalam setiap melaksanakan sebuah program kerja. Inilah yang bagi sebagian mahasiswa tidak worth it karena satu sisi mereka tidak dibayar untuk melakukan banyak hal di dalam organisasi tersebut tetapi mereka pula yang harus mengeluarkan modal juga. Jadi double fungsinya, sebagai pengurus iya dan volunteer juga iya.
Kemudian hal yang kedua adalah berhubungan dengan EFFORT. Tentu saja ada konsekuensi yang harus dihadapi ketika kita memilih satu keputusan. Begitu pula dengan masuk ke dalam organisasi mahasiswa ini. Banyak usaha dan kerja yang harus dilakukan untuk mempertahankan fungsi dan tujuan dari berdirinya organisasi tersebut. Akan tetapi, kerap kali tekanan kerja di organisasi yang diberikan melebihi tekanan yang ada di dunia kerja secara realnya. Rapat sampai tengah malem, melaksanakan program kerja sampai melewati jam kuliah, bahkan rapat di saat jam kuliah, bikin laporan berjilid-jilid dengan revisi yang tidak beres-beres ditambah sarat dengan sisi emosionalnya dan segala macamnya.
Hal tersebut tentunya dapat dipahami dengan sederhana karena jika menggunakan paradigma “anak muda” zaman sekarang yang cukup liar dengan cara berpikirnya maka keluhan paling populer yang akan muncul pertama adalah “GW TUH GA DIBAYAR LOH, SANTAI AJA SI”. Tidak bisa dihindari sudah pasti karena memang zaman saat ini segalanya menuntut feedback, baik uang, peningkatan skill dan kemampuan, relasi, kualifikasi atau pengakuan dan sejenisnya. Sehingga banyak mahasiswa saat ini yang lebih memilih untuk mengambil jalan bekerja atau magang sebagai pilihan untuk meningkatkan kualifikasi dirinya dan yang terpenting ada intensif yang mereka terima dalam bentuk uang. Betul, sedikit banyak tentu kapitalisme mempengaruhi persoalan ini, karena bentuk penghargaan yang saat ini menjadi atensi dari setiap orang bukan lagi hanya tentang dihormati, terpandang, atau hal serupa lainnya tetapi lebih jauh semuanya berbicara mengenai UANG.
Terakhir, hal ketiga yang mesti dipahami adalah terkait dengan BENEFIT. Agaknya hal inilah yang dapat sedikit membantu ORMAWA-ORMAWA ini tetapi eksis di kacamata para mahasiswa. Dikarenakan, keuntungan yang akan diraih oleh pengurusnya tentu kurang lebih sudah dapat tergambarkan dengan cukup jelas, seperti relasi, dekat dengan beberapa dosen, punya teman baru, punya nama di kampus “sebagai …..” dan lainnya. Tentunya itu masih menjadi daya tarik tersendiri yang rasanya akan terus berlangsung dan bertahan dalam beberapa dekade ke depan. Sehingga sulit rasanya untuk mengatakan bahwa ORMAWA ini akan hilang di ranah kampus.
Akan tetapi, mesti dipertimbangkan pula bahwa semua benefit yang disebutkan di atas ternyata dapat diraih tanpa harus melalui skema bergabung dengan organisasi. Seperti contoh menjalin relasi dan atau mendapatkan teman baru, rasa-rasanya saat ini mudah karena akses media dan wadahnya berlimpah tetapi dengan catatan kita memiliki kapabilitas atau kemampuan yang relevan sehingga tidak hanya sekedar menjalin banyak relasi saja tetapi dari sana kita dapat memanfaatkannya sebagai peluang untuk membangun jalan karir diri kita ke depan seperti apa. Jadi, mesti diingat bahwa saat ini pipa atau akses ke segala halnya banyak dan beragam caranya.
Teman-teman mahasiswa, pada akhirnya semua tergantung oleh kebutuhan diri kita masing-masing. Organisasi penting dan keren untuk membiasakan diri dalam sebuah lingkup kerja yang dinamis dan banyak tantangannya. Magang atau kerja atau bahkan berwirausaha pun keren juga sebagai salah satu jalan untuk meningkatkan kualitas diri menjadi lebih kompeten terbiasa dengan ekosistem persaingan yang progresif. Jadi, segala pilihan punya sisi baik dan buruknya masing-masing. Ingatlah yang paling terpenting adalah pilihlah segala hal yang menurut diri kita layak dan pantas untuk diperjuangkan.