Pada tanggal 21 Juni 2023, Dema Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung bersama dengan Dewan Pengurus Daerah KNPI Kota Bandung telah melaksanakan acara talkshow politik dengan tema “Kita Dan Masa Depan Kota Bandung“ yang diselenggarakan di gedung Abdjan Soelaeman UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Beberapa tokoh kota Bandung yang menjadi narasumber dalam acara tersebut diantaranya, Andri Gunawan (Ketua Karang Taruna Kota Bandung), H. Edwin Senjaya, S,E., MM (Wakil Ketua DPRD Kota Bandung), Tb. Fiki Satari (Ketua Bandung Creative City Forum), dan Asep Sahid Gantara (Ketua Jurusan Ilmu Politik).
Polemik dan Pertanyaan Publik
Kegiatan Talk Show tersebut menuai polemik ditinjau dari pendapat beberapa mahasiswa. Hal ini tak ayal, sebab pada dasarnya kampus adalah ruang akademik, bukan tempat penyelenggaraan politik. Meskipun, kegiatan tersebut bertujuan untuk melakukan uji publik terhadap salah seorang calon Wali Kota Bandung yang namanya muncul dalam lembaga survei, yaitu Citra Survei Indonesia (CSI). Namun, hasil survei tidak niscaya akan stabil dan tetap, atau pasti berubah-ubah. Dengan kata lain, bisa saja dalam rentang waktu tertentu nama yang muncul sebagai calon Wali Kota Bandung bisa berubah. Sehingga memunculkan tendensi bahwa acara tersebut dijadikan sebagai alat untuk membranding atau mengkampanyekan nama si narasumber sebagai calon Wali Kota Bandung, padahal survei tersebut belum final. Dalam artian, DEMA-FISIP dan DPD KNPI Kota Bandung sebagai penyelenggara dianggap menjadi kendaraan politik bagi si narasumber.
Disorientasi Tujuan Kegiatan
Dalam wawancara yang dilakukan dengan Ketua Umum DEMA-FISIP, yaitu sodara David Ashari, ia mengatakan bahwa, “tujuan diselenggarakannya acara itu adalah sebagai bentuk perhatian terhadap Kota Bandung dan juga uji kapasitas para calon di eksekutif ataupun Walikota Bandung agar tahu gagasan konkret sebelum mereka memimpin”. David juga menuturkan dampak positif yang nantinya lahir mungkin tidak saat ini, akan tetapi nanti ketika salah satu dari mereka yang namanya muncul dalam lembaga survei itu memimpin, jelasnya.
Orientasi kegiatan tersebut adalah menguji secara terbuka bacalon yang muncul dalam lembaga survei. Kampus pada dasarnya adalah miniatur negara. Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa kampus memiliki struktur kelas dan dinamika yang sama seperti negara. Misalnya, dalam hal sistem pemerintahan seperti Rektorat, Dekanat, Jurusan dan Ormawa. Sehingga hal yang wajar apabila DEMA-FISIP menyelenggarakan talk show dengan pembahasan politik. Namun, talk show menjadi polemik dan kontroversial apabila hal-hal yang disampaikan oleh narasumber dan wacana dalam diskusi tersebut tidak mengarah terhadap pembelajaran politik. Dengan kata lain, talk show tersebut memiliki disorientasi dari tujuan semula. Karena dari beberapa opini yang muncul dari mahasiswa selepas kegiatan tersebut digelar, mengarah pada branding dan kampanye narasumber sebagai calon wali kota, bukan diskusi intensif mengenai permasalahan kota bandung seperti, masalah polusi dan kemacetan, kriminalitas geng motor, penggusuran di Taman Sari, hingga kemiskinan dan pengangguran.
Kontroversi Pemindahan Kelas Untuk Absensi
Hal yang menjadi topik pembicaraan dari beberapa mahasiswa dalam kegiatan tersebut adalah pemindahan kelas secara paksa untuk absensi. Seperti yang kita ketahui, kampus adalah pusat laboratorium pengetahuan dan media pembentukan kesadaran kritis bagi mahasiswa, atau bukan tempat represif yang mengontrol dan menguasai mahasiswa. Absensi adalah pencatatan atau monitor dari kehadiran mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Dengan kata lain, absensi bukanlah alat politis untuk menggiring mahasiswa mengikuti kegiatan seminar atau talk show apabila peserta kegiatan kurang dari kesepakatan. Salah satu jurusan yang tidak termasuk dalam rumpun FISIP, yaitu jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, mahasiswa Semester II mata kuliah Ilmu Fiqih secara kontroversial diwajibkan oleh dosennya untuk mengikuti kegiatan talk show tersebut.
Dosen dengan inisial A menyuruh mahasiswa-nya untuk mengikuti kegiatan talk show tersebut untuk persyaratan absensi. Padahal mata kuliah yang diampu adalah ilmu fiqih, bukan ilmu politik atau filsafat politik. Sehingga tidak ada korelasi antara kegiatan yang diselenggarakan dengan mata kuliah yang dipelajari. Hal ini secara tak langsung telah mengindikasikan bahwa kegiatan talk show tersebut memiliki banyak tendensi politis yang banyak bicarakan oleh sebagian mahasiswa UIN Bandung.
Sehingga dalam hal ini, mahasiswa mesti memiliki kesadaran kritis untuk memahami tujuan politis dari setiap kegiatan penyelenggaran seminar atau talk show. Dan tentunya, dosen sebagai fasilitator dalam pembentukan kesadaran kritis semestinya tidak melakukan hal-hal konyol yang akan merguikan mahasiswanya. Sebab bisa saja kegiatan talk show tersebut merugikan mahasiswa yang tidak mengetahui sama sekali tujuan dari kegiatan tersebut, atau biasa disebut sebagai ideologisasi.