Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang sedang dibahas saat ini memicu kekhawatiran bahwa arah pemerintahan di bawah Presiden Prabowo Subianto memiliki kemiripan dengan era Orde Baru, terutama dalam hal dominasi militer dalam ranah sipil. Kebijakan ini berpotensi menghidupkan kembali doktrin Dwifungsi ABRI, yang telah menjadi sumber trauma bagi banyak orang di Indonesia. Sebagai mahasiswa, kami merasa perlu untuk menyampaikan analisis kritis terhadap perkembangan ini.
Pada masa Orde Baru, doktrin Dwifungsi ABRI memungkinkan militer untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan dan birokrasi. Salah satu contoh nyata adalah peran militer dalam mengontrol pemilu dan politik melalui kolaborasi dengan Golkar, yang menjadi alat utama rezim Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya. Praktik ini menciptakan ruang demokrasi yang sempit, di mana suara rakyat ditekan melalui intimidasi dan represi. Tragedi Semanggi pada tahun 1998 menjadi salah satu bukti nyata dampak buruk dari dominasi militer tersebut, di mana aparat menembaki mahasiswa yang sedang berdemonstrasi menuntut reformasi.
Kini, revisi UU TNI yang diajukan menunjukkan indikasi kembalinya pola serupa. Salah satu poin kontroversial dalam revisi ini adalah perluasan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, dari 10 menjadi 16 lembaga, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Menurut laporan BBC Indonesia, langkah ini berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI, yang pernah menjadi sumber trauma bagi masyarakat sipil selama Orde Baru. Kekhawatiran ini diperkuat oleh fakta bahwa lebih dari 2.500 anggota aktif TNI sudah menduduki posisi di sektor sipil sebelum revisi ini dilaksanakan.
Salah satu contoh konkret yang mencolok adalah Letkol Teddy Indra Wijaya, seorang prajurit aktif TNI yang menjabat sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab). Penempatan Teddy dalam posisi tersebut telah menuai kritik karena dianggap melanggar Undang-Undang TNI yang membatasi jabatan sipil bagi prajurit aktif. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto berargumen bahwa penempatan Teddy sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2024 tentang Kementerian Sekretariat Negara; namun banyak pihak, termasuk anggota DPR dari PDIP, meminta agar Teddy mundur dari TNI untuk menjaga integritas institusi militer dan sipil.
Pemerintahan Prabowo juga menunjukkan pola-pola yang mengarah pada penguatan peran militer dalam struktur pemerintahan. Dalam konteks ini, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah juga melibatkan institusi TNI secara aktif. Program ini bertujuan untuk memberikan akses makanan bergizi kepada anak-anak dan kelompok rentan lainnya di seluruh Indonesia. TNI Angkatan Udara (AU) telah mengoperasikan dapur umum di tujuh Pangkalan TNI AU untuk menyiapkan makanan bagi sekolah-sekolah. Keterlibatan TNI dalam distribusi makanan ini menunjukkan bahwa institusi militer semakin terintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, sebuah langkah yang dapat memicu kekhawatiran akan kembalinya dominasi militer dalam ranah sipil.
Revisi UU TNI juga dilakukan tanpa keterlibatan publik yang memadai. Rapat-rapat pembahasan diadakan secara tertutup, menciptakan kesan bahwa keputusan diambil tanpa transparansi atau akuntabilitas kepada rakyat. Dalam konteks ini, kita harus bertanya: Apakah kita siap untuk menghadapi kemungkinan kembalinya kekuasaan militer yang dominan seperti pada masa Orde Baru?Dapat dilihat bahwa langkah-langkah ini berpotensi mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan militer, sebuah kondisi yang pernah terjadi selama Orde Baru. Dominasi militer dalam ranah sipil tidak hanya melemahkan prinsip-prinsip demokrasi tetapi juga berisiko menciptakan ketidakadilan sosial dan pelanggaran hak asasi manusia. Sejarah telah menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam politik sering kali berujung pada represi terhadap suara rakyat.
Masa depan demokrasi Indonesia ada di tangan kita semua. Jangan biarkan pengalaman pahit masa lalu terulang kembali. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama dalam setiap kebijakan demi memastikan bahwa suara rakyat tetap menjadi landasan pemerintahan.
Sumber :
1. BBC Indonesia: “Revisi UU TNI berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI – Mengapa ada trauma militerisme era Orde Baru?”
2. Tempo: “Polemik soal perlu tidaknya Letkol Teddy mundur dari TNI.”
3. Detik: “TNI AU mulai Makan Bergizi Gratis setiap dapur siapkan 6.000 porsi.”