Logika Dasar: Silogisme Dalam Perspektif Aristoteles

Pendahuluan

Seperti sudah menjadi aksioma bahwa logika merupakan ilmu yang berasal dari peradaban Yunani. Apakah asumsi itu sudah pasti benar? Tentu saja tidak.  Perlu diketahui bahwa logika tak akan pernah terpisahkan dari kehidupan manusia. Dalam artian sedari manusia ada, sejak saat itu pula logika digunakan dan dikembangkan. Dalam bukunya yang berjudul “Principia Logica” Martin Surjaya mengatakan bahwa logika sudah bisa dijumpai di peradaban India dua abad sebelum peradaban Yunani muncul. Perbedaanya logika yang diterapkan di India saat itu tidak se-sistematis dengan logika yang dikembangkan di peradaban Yunani. Sehingga apabila ditinjau dari sejarah, logika bukanlah ilmu yang berasal dari peradaban Yunani, lebih tepatnya dikembangkan dan disistematsikan di sana (Suryajaya, 2022, hal. 36).

Aristoteles merupakan seorang logikawan yang termahsyur sampai saat ini. Dengan karya monumentalnya “Organon” Aristoteles acap kali dijadikan sebagai rujukan awal dalam mempelajari dan memahami logika. Perlu diketahui bahwa orang yang pertama kali mengucapkan kata logika bukanlah Aristo, melainkan Zeno (murid Parmenides) dari Citium (Mundiri, 2003, hal. 2). Namun, apabila merujuk kepada perkembangan logika sampai saat ini, sistem logika Aristoteles lebih banyak dipelajari dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Aristoteles meninggalkan 6 buah buku logika yang oleh para muridnya disatukan dalam karya menomentalnya “Organon”. Buku-buku itu adalah Categoriae (mengenai pengertian-pengertian), De interpretatie (mengenai keputusan-keputusan), Analitica Priora (tentang silogisme), Analitica Posteriora (tentang Pembuktian), Topica (berdebat) dan De Shopistic Elenchis (mengenai kesalahan-kesalahan berpikir) (Mundiri, 2003, hal. 3).

Dalam tulisan ini, penulis tak akan membahas semua buku yang tertuang dalam karya Organon. Penulis hanya akan membahas Analtica Priora atau yang termahsyur dengan sebutan silogisme. Tetapi sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai silogisme, penulis akan berangkat dari hal-hal yang paling mendasar dalam logika, yaitu kata, predikat, proposisi, definisi, hingga pada akhirnya membahas silogisme. Lantas apa itu silogisme dalam perspektif Aristoteles?

Pembahasan

A. Apa itu logika ?

Sebelum masuk kepada definisi logika, akan lebih baik kita mengetahui terlebih dahulu perbedaan antara pengetahuan dan ilmu. Keduanya jelas memiliki perbedaan yang mencolok, pengetahuan bersifat spontan, sedangkan ilmu memiliki sistem atau prinsip-prinsip metode ilmiah (Soelaiman, 2019, hal. 26). Pengetahuan bisa didapatkan dari hasil pengalaman sehari-sehari seperti si A tahu bahwa buah mangga yang belum matang rasanya masam. Lantas apakah itu sudah menjadi ilmu? tentu saja tidak. Apabila teliti lebih jauh justru buah yang sudah matang lebih masam dari buah yang belum masak. Karena buah yang sudah matang memiliki kandungan karbohidrat atau pati yang lebih tinggi dari pada yang belum matang. Rasa manis pada buah yang sudah matang berasal dari zat gula hasil proses fruktosa (https://www.kompas.com/skola/read/2021/04/03/100000669/penyebab-buah-manis-dan-asam).  Dengan penjelasan dari pengelaman Si A yang dikembangkan lagi melalui pengujian secara ilmiah terhadap rasa sebutir buah, maka itu bisa disebut ilmu.

Setelah mengetahui perbedaan antara pengetahuan dan ilmu. Lantas apa hubungannya dengan logika. Pada dasarnya logika adalah ilmu, bukan hanya sekedar pengetahuan. Karena logika memiliki prinsip dan metode yang harus diuji. Misalkan, dalam logika sebuah proposisi dikatakan benar apabila memiliki kesesuain dengan realitas. Dalam artian ada sebuah keterkaitan antara pernyatan dan realitas atau disebut dengan korespondensi. Sebagai contoh, semua manusia akan mati, Umar adalah manusia, maka Umar akan mati. Pada dasarnya kematian adalah kenicayaan yang tidak bisa ditampik. Sehingga dari proposisi tersebut pernyataan dan realitas itu saling berkaitan dan bisa dianggap benar. Dalam contoh lain, air memiliki unsur hidrogen, hidrogen mudah terbakar, maka air mudah terbakar. Contoh tersebut secara metodis sudah benar karena ada proposisi dan konklusi yang membangunnya, tetapi dalam prinsip logika sesuatu dikatakan benar apabila sesuai dengan realitas. Karena tidak sesuai dengan fakta, maka contoh tersebut dikatakan salah.

Sebagai sebuah ilmu, apakah sebagian orang (bodoh, memiliki keterbatasan fisik) tidak bisa berlogika? tentu saja tidak. Karena logika merupakan hal yang bersifat alamiah atau natural yang dimiliki oleh manusia. Setiap orang pasti memiliki kecakapan dalam berlogika secara natural. Sebodoh-bodohnya seseorang ia tidak mungkin berkata kasar dengan lantang di dalam majelis ta’lim atau membiarkan bayi berjalan di jalan raya sendirian. Karena dengan pikirannya orang itu bisa menebak hal-hal yang akan terjadi selanjutnya.

Dengan demikian, logika adalah ilmu untuk berpikir dengan benar, tepat dan teratur (Mundiri, 2003, hal. 17). Tetapi perlu dibatasi juga bahwa logika bukanlah ilmu eksakta yang berasal dari hasil pengamatan inderawi semata. Justru prinsip dasar logika adalah pikiran, sehingga logika adalah ilmu yang bersifat a priori bukan a posteriori. A priori adalah pengetahuan yang tidak didapatkan melalui pengalaman (pikiran), sedangkan a posteriori adalah sebaliknya (Mundiri, 2003, hal. 7). Dalam logika, pikiran menjadi fondasi dalam mengolah sebuah data inderawi dan membentuknya menjadi proposisi yang benar dan tepat.

B. Mengulas “Kata”

Sebelum masuk kepada proposisi, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu apa itu “kata.”  Pada dasarnya kata merupakan unit terkecil dari sebuah proposisi, dalam artian proposisi tidak akan terbentuk tanpa ada kata-kata yang merangkainya. Sehingga dalam membentuk pernyataan yang baik dan benar kata menjadi hal yang mendasar dalam menguntainya. Kata dibagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu positif, negatif dan privatif (Mundiri, 2003, hal. 21).

Sebuah kata dikatakan postitif jika memiliki penekanan terhadap suatu objek. Misalkan, tampan (memiliki wajah yang menawan), gemuk (adanya isi), pintar (memiliki ilmu), kuat (memiliki tenaga), dermawan (baik, bersedakah, beramal). Kedua, kata memiliki makna negatif ketika diawali dengan tidak atau bukan. Contohnya, tidak gemuk, tidak tampan, tidak pandai, tidak dermawan, dll. Terakhir, sebuah kata memiliki makna privatif ketika tidak memuat adanya sesuatu, seperti kurus, jelek, bodoh, kikir, miskin, dsb (Mundiri, 2003, hal. 22).

Selanjutnya kata disebut sebagai term. Dalam pandangan Aristoteles term dibagi menjadi  tiga tipe, yaitu Singular, Particular dan Universal (Cryan, Shatil, & Mayblin, 2013, hal. 10). Pertama, Term singular merupakan kata yang memiliki satu bawahan. Seperti nama-nama unik berikut; DC (dosen Cabul), Kibul (kiri cabul), Kelam sang Kepala Suku LPIK, Hime si absurdis, dll. Selain nama-nama unik, term singular biasanya berkaitan dengan nama pribadi, Afdal Si Kontol, Akmal Si Klewang, Sidiq Anarko, Hotel Oyo, Makmur Club, dll.  Kedua, term universal justru memiliki makna kebalikannya. Dalam artian term universal merupakan kata yang mengikat secara keseluruhan. Seperti kata rumah, manusia, kursi, hewan tumbuhan, mesin, dll.  Sebagai contoh, dalam himpunan manusia (manusia narsis, manusia kucel, manusia kaku, manusia emotikon, manusia biadab), dalam himpunan rumah; (rumah kayu, bambu, beton, toples, rumah tangga, rumah singgah, rumah prostitusi, dll). Ketiga, term particular merupakan kata yang tidak memiliki sturktur bawahan menyeluruh atau terbatas. Karena keterbatasannya term particular selalu memakai kata sebagian sebagai batasannya. Contohnya, sebagian manusia, binatang, tumbuhan, mucikari, miyabi, dsb (Mundiri, 2003, hal. 23).

Untuk lebih mempermudah pengaplikasian dari ketiga term di atas, maka akan dicontohkan dalam bentuk proposisi, seperti dibawah ini.

  • Kelam is a man (Singular)
  • Every man is a mortal (Universal)
  • Some man are mortal (Particular)

Term singular pasti akan memakai kata seorang (a man, a women, etc) :

  • Seorang Kibul adalah predator
  • Kelam adalah seroang kibul
  • Maka kelam adalah seorang predator

Term universal diawali oleh kata semua, seluruh, setiap, tak satupun (every). Sebagai contoh :

  • Semua mahasiswa berpikir
  • Semua orang yang memakai baju hitam adalah mahasiswa
  • Maka, semua yang memakai baju hitam berpikir

Term particular berawal dari kata sebagian, beberapa, tidak semua (some). Di bawah ini penjelasan dari term partikular :

  • Sebagian pejabat adalah koruptor
  • Sebagian orang yang memakai dasi adalah pejabat
  • Maka, sebagian orang yang memakai dasi adalah koruptor

C. Term Predikat Dalam Logika

Predikat adalah term yang menjelaskan subjek. Di dalam logika ada beberapa term yang mesti dipahami dalam bentuk sebuah proposisi, diantaranya adalah :

  • Genera : Jenis
  • Diffrerentia : pembeda
  • Spesia : kelas

Untuk memperjelas fungsi dari setiap term dapat dilihat dalam contoh di bawah ini;

Singa

(S)

Adalah

(K)

Binatang

(G)

Buas

(D)

D. Patokan dalam membuat Definisi

Term predikat dalam logika memiliki fungsi yang fundamental dalam membentuk sebuah definisi. Definisi adalah sebuah pembatas dalam penggunaan kata agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam penggunannya. Pendefinisian sebuah kata pada pada dasarnya adalah membentuk jenis dan pembedanya. Sehingga patokan dalam membuat definisi dari sebuah kata mesti memiliki genera dan differentia. Untuk lebih jelasnya dapat disimak dari contoh di bawah ini;

Anjing

(S)

Adalah

(K)

Binatang

(G)

Penurut

(D)

Dalam contoh di atas, diketahui bahwa genera (binatang) dan differentia (penurut) tidak bisa dilepaskan dari kata Anjing. Apabila kata itu tidak ada maka makna Anjing bisa menjadi simpangsiur, bisa saja “anjing” dimaknai atau disematkan kepada orang yang menjengkelkan dan mantan kekasih yang telah selingkuh.

E. Proposisi

Proposisi merupakan sebuah pernyataan dalam bentuk kalimat yang bisa dinilai benar dan salahnya. Dalam sebuah proposisi terdiri dari Quantifier, Subjek, Perdikat dan Kopula. Quantifier adalah sebuah term yang menegaskan satuan yang diikat oleh subjek baik secara universal dan partikular. Subjek adalah term yang menjadi pokok atau inti dari proposisi. Sedangkan predikat adalah keterangan atau pelengkap dari subjek. Subjek dan predikat merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, karena keduanya merupakan subtansi dari suatu proposisi dalam logika. Dan kopula adalah kata yang menghubungkan antara subjek dan predikat.

Sebagian

Q

Mahasiswa

S

Adalah

K

Muslim

P

F. Silogisme

Secara umum silogisme adalah sebuah pernyataan yang terdiri dari premis mayor, minor dan konklusi. Silogisme kemudian dibagi menjadi tiga, yaitu Kateogirk, Hipotetik dan Disyungtif.

1. Silogisme kategotik

a. Pengertian Silogisme Kategorik

Silogisme kategorik adalah silogisme yang terdiri dari pernyataan-pernyatan kategorik. Pernyataan kategotik biasanya berawal dari Umum ke Khusus. Hal ini bisa disimak dalam contoh di bawah ini;

  • Umum : universal : semua, setiap, seluruh, tak satupun, sebagian, beberapa = P.mayor = Predikat
  • Khusus : universal, partikular, atau singular = P.minor = Subjek
  • Konklusi : merupakan kesimpulan dari P.mayor dan P.minor

Untuk lebih jelasnya akan di jelaskan dalam contoh berikut;

Semua (bisa U, P)

(Q)

Ular

(MT)

Berjalan

(K)

Melata

(P)

Semua (bisa U, P, S)

(Q)

Phyton

(S)

Adalah

(K)

Ular

(MT)

Maka, Semua

(Q)

Phyton

(S)

Berjalan

(K)

Melata

(P)

Dari contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa P. Mayor akan selalu diawal sebagai Predikat. Kemudian Premis minor adalah subjek dari Predikat dan bersifat afirmatif (menguatkan). Middle term (MT) menjadi kata hubung antara P. Mayor dan P.minor, yang tidak dicantumkan dalam konklusi. Karena konklusi hanya terdiri dari S dan P.

Silogisme kategorik di bagi lagi menjadi 4 bagian, yaitu Barbara, Celarent, Ferio, dan Darii. Adapun rumus yang membangun keempat sistem logika silogisme kategotik adalah A, I, E, O

A         : Universaal Positif

I           : Partikular Positif

E          : Universal Negatif

O         : Partikular Negatif

No Nama Rumus Contoh
1 Barbara A+A+A Semua Pangajar bisa menulis karya ilmiah

Semua perempuan itu adalah pengajar

Semua perempuan bisa menulis karya ilmiah

2 Celarent E+A+E Semua pelajar tidak sepakat dengan kenaikan harga BBM

Semua mahasiwa adalah pelajar

Semua mahasiswa tidak sepakat dengan kenaikan harga BBM

3 Ferio A+I+I Semua muslim pergi ke Jakarta

Sebagian mahasiswa adalah muslim

Sebagian mahasiwa pergi ke Jakarta

4 Darii E+I+O Semua Koruptor tidak disenangi

Sebagaian DPR adalah koruptor

Sebagian DPR tidak di senangi

b. Hukum-Hukum Silogisme Kategorik

Menurut (Mundiri, 2003, hal. 103-106) ada delapan aturan dalam silogisme kategorik, diantaranya adalah :

  • Jika salah satu premis partikular, maka kesimpulan juga harus partikular.
  • Jika salah satu premis negatif, maka kesimpulan harus negatif.
  • Jika dua premis sama-sama partikular maka tidak bisa diambil kesimpulan.
  • Jika dua premis sama-sama negatif, maka tidak bisa dimabil kesimpulan.
  • Jika dua premis middle term nya berurutan atau ada dikesimpulan, maka hasilnya akan salah.
  • Predikat dan konkulsi harus sesuai dengan premisnya.
  • Middle term harus bermakna sama baik dalam premis minor ataupun mayor.
  • Silogisme harus terdiri dari tiga term, yaitu subjek, predikat, konklusi.

2. Silogisme Hipotetik

a. Pengertian Silogisme Hipotetik

Silogisme hipotetik adalah silogisme yang premis mayornya proposisi hipotetik dan premis minornya kategorik. Premis mayor dalam proposisi hipotetik terdiri dari antecedent dan kosekuen (Mundiri, 2003, hal. 129). Antecedent adalah kata ganti yang teridiri dari kata, frasa atau klausa (https://scholarsenglish.id/antecedent-pengertian-dan-contoh-penggunaanya). Sedangkan konsekuen adalah implikasi dari antecedent. Dalam silogisme hipotetik premis minor lebih berfungsi sebagai bentuk pengakuan atau pengingkaran dari antecedent dan konsekuen. Berbeda dengan silogisme kategorik yang premis mayornya berfungsi sebagai predikat dan minornya sebagai subjek. Sehingga konklusi yang didapatkan tergantung pengingkaran atau pengakuan terhadap antecedent dan konsekuen.

Menurut (Mundiri, 2003, hal. 130) Silogisme hipotetik memiliki empat macam penyimpulan yang terkandung dalam rumus di bawah ini:

Pengkauan terhadap antecedent  A= (+) Jika siang hujan, saya naik mobil Siang hujan (p.min) Jadi saya naik mobil
Pengingkaran terhadap antecedent

A= (-)

Jika mahasiswa belajar, maka dosen dikelas Mahasiswa tidak belajar Jadi dosen tidak di kelas
Pengakuan terhadap konsekuen K= (+) Jika Andre makan dikantin, maka ia bersama Cinta Andre bersama Cinta Jadi, ia makan di Kantin
Pengingkaran terhadap konsekuen

K= (-)

Jika pemerintah bijak, maka rakyat sejahtera Rakyat tidak sejahtera Jadi pemerintah tidak bjak

Dapat diketahui bahwa Keempat penyimpulan di atas silogisme hipotetik di atas ditentukan oleh pengakuan atau ingkaran terhadap antecedent atau konsekuen. Tetapi, kunci premis minor dalam setiap pengakuan atau pengingkaran dari antecedent dan konsekuen begitu penting. Karena pengingkaran dan pengakuan terhadap antecedent dan konsekuen ada di premis minor. Jadi konklusi bisa diketahui dari posisi pengingkaran atau pengakuan terhadap antecedent dan konsekuen di premis minor.

b. Hukum-hukum Silogisme Hipotetik

Silogisme hipotetik memiiki aturan dalam menyimpulkan sebuah propoisisi, sama hal nya dengan silogisme kategorik. Dalam silogisme hipotetik antecedent dilambangkan dengan hurup (A) dan konsekuen (B). Hal ini memiliki tujuan untuk memudahkan penyimpulan dalam silogisme hipotetik (Mundiri, 2003, hal. 131).

Adapun Hukum silogisme hipotetik adalah sebgaai berikut :

A+B = AB adalah sah/benar

Antecedent : diakui

Konsekuen : diakui

Konklusi benar

Jika harga BBM naik, maka mahasiswa melakukan demo.

Harga BBM naik. (A+)

Maka, mahasiswa melakukan demo (B+)

-B + -A = -A -B adalah sah/benar

Konsekuen : tidak diakui

Antecedent : tidak diakui

Jika Pangeran menyukai laki-laki, maka ia seorang Gay.

Pangeran bukan Gay. (-B)

Maka, ia tidak menyukai laki-laki. (-A)

A + -B = A -B adalah tidak sah/salah

Antecedent : diakui

Konsekuen : tidak diakui

Terjadi kerancuan di konklusi

Jika Polisis melakukan Rajia, maka Jelek Cemas.

Polisi melakukan Rajia (A+)

Maka jelek tidak cemas (-B)

-A + B = -A B adalah tidak sah/salah

Antecedent : tidak diakui

Konsekuen : diakui

Terjadi kerancuan di konklusi

Jika Tentara melakukan Kungfu, maka Penonton takut.

Tentara tidak melakukan Kungfu. (-A)

Maka Penonton takut. (B+)

Dari aturan di atas dapat diketahui bahwa patokan dalam merangkai konklusi yang tepat terletak di premis minor, sebagai posisi pengakuan atau pengingkaran terhadap antecedent atau konsekuen. Apabila sesuai dengan rumus A+B = AB dan -A+-B= -A -B, maka kesimpulan menjadi benar. Tetapi apabiila bersebrangan dengan rumus tersebut atau memadukan (- dan +) atau (+ dan -) maka kesimpulan yang didapatkan menjadi tidak tepat.

3. Silogisme Disyungtif

a. Pengertian Silogisme Disyungtif

Silogisme disyungtif adalah silogisme yang premis mayornya disyungtif dan minornya kategorik (Mundiri, 2003, hal. 134). Disyungtif adalah proposisi yang memiliki kata hubung “atau” (https://www.ruangguru.com/blog/logika-matematika). Silogisme disyungtif dibagi menjadi dua, yaitu secara luas dan sempit. Secara luas premis mayornya adalah alternatif kontradiktif. Sedangkan, secara sempit premis mayornya adalah bukan kontradiktif (Mundiri, 2003, hal. 135). Tetapi, perlu ditekankan premis mayor di sini bukanlah term predikat seperti dalam silogisme kategorik. Silogisme disyungtif memiliki kesamaan dengan silogisme hipotetik di mana penggunaan premis mayor atau minor hanya sebagai pelengkap dalam bangunan proposisinya.

Silogisme disyungtif dalam arti sempit premis mayornya berhubungan dengan kata benda atau sifat yang bersifat kontradiktif atau bertentangan. Seperti, baqa atau fana, ahli atau amatir,  hitam atau putih, baik atau buruk, tampan atau jelek, pintar atau bodoh, kurus atau gemuk, dermawan atau kikir.

Sedangkan dalam arti luas premis mayornya tidak saling bertentangan (non-kontradiktif), seperti Jogja atau Solo, Andi atau Anton, Masjid atau Sekolah, Pasar atau Rumah, Anjing atau Monyet, Hotel atau Dusun, Kelas atau Kantin, dll. Silogisme disyungtif dalam arti sempit atau luas memiliki kesamaan dalam menarik sebuah kesimpulan yaitu ditentukan oleh premis minor yang berfungsi untuk mengingkari atau mengakui.

b. Hukum Silogisme Disyungtif

Menurut (Mundiri, 2003, hal. 136) hukum silogisme disyungtif dalam arti sempit dan luas adalah sebagai berikut:

Dalam arti sempit

 

Jika premis minor mangakui atau mengingkari tidak jadi masalah, apabila prosedur konkulisnya valid atau tepat. Manusia baqa atau tidak baqa

Ternyata Manusia tidak Baqa.

Jadi Manusia tidak baqa.

Ch. di atas P.minor mengakui tidak mengingkari

dan konklusinya tepat

P.mayor harus bersifat kontradiktif dan P.minor harus memiliki posisi untuk mengakui atau mengingkari. Apabila prosedur itu tidak tepat, maka kesimpulannya kabur. Udin tampan atau Jelek

Ia tidak tampan dan tidak jelek

Jadi Udin tidak jelek ataupun tampan

Dalam arti luas Premis minornya harus mengakui dan tidak boleh mengingkari agar mendapatkan kesimpulan yang tepat. dan premis mayor harus non-kotradiktif Gohan seorang penyair atau penyanyi.

Ia adalah Penyair.

Jadi bukan penyanyi

 

Ch. di atas P.minor mengakui tidak mengingkari Apbila silogisme disyungtif dalam arti luas premis minornya mengingkari, maka akan menjadi rancu seperti hal nya berikut.

 

Dosen di Hotel atau di Kelas

Ia tidak di Hotel

Jadi Dosen di Kelas

Apabila melihat aturan dan contoh di atas sebenarnya silogisme disyungtif yang dicontohkan dalam buku Mundiri tidak terlalu spesifik dan jelas dalam memberikan patokan hukumnnya. Hal ini berbeda dengan silogisme kategorik dan hipotetik yang memiliki krangka atauran cukup konkrit. Pasalnya silogisme disyungtif dalam arti luas memiliki aturan bahwa premis minornya harus mengakui dan tidak boleh mengingkari. Tetapi, kesimpulan yang didapatkan dari prosedur tersebut baik saat premis minor diakui ataupun diingkari hasilnya tetap sama saja menjadi multitafsir.

Kesimpulan

Silogisme merupakan sebuah penyimpulan yang bersifat deduktif atau tidak induktif. Konklusi yang didapatkan dari hasil penyimpulan deduktif tidak spesifik dan kokrit atau masih general sehingga kebenarannya bersifat spekulatif. Selain itu, silogisme tidak bisa terlepas dari argumentasi hukum kausalitas, jika A maka B atau jika B maka A, implikasinya adalah keniscayaan dari pendapat tersebut. Padahal argumentasi yang bersandar pada keniscayaan bisa saja menjadi kebimbangan atau keputusasaan dalam menyimpulkan sebuah proposisi. Karena tidak melalui prosedur yang ketat, padat, dan konkrit.

Implikasi dari kerancuan dalam penggunaan hukum kausalitas dapat ditinjau di abad pertengahan ketika era skolastik. Di mana konsekuensi logis dari logika aristoteles (silogisme) adalah meniscayakan segalanya kepada Tuhan yang tidak bisa di definisikan karena tidak memiliki Genus dan Differentia. Tetapi argumentasi sebab-akibat tersebut tetap dipaksakan dan implikasinya ilmu pengetahuan menjadi satgnan dan teralienasi. Karena apabila ilmu pengetahuan bertentangan dengan hukum kausalitas dari salah satu doktrin agama, maka akan dianggap sesat dan tidak boleh dilanjutkan. Seperti kasus yang menimpa Copernicus, Kepler dan Galileo di fase Pencerahan saat mengembangkan teori heliosentris.

Daftar Pustaka

Corner, G. (2021). antecedent-pengertian-dan-contoh-penggunaanya.Di unduh dari  https://scholarsenglish, pada tanggal 04 Oktober 2022 pukul 22.00.

Cryan, D., Shatil, S., & Mayblin, B. (2013). Introducing Logic (A Graphic Guide) . London: Icon Books Ltd.

Kresnoadi. (2022). Logika Matematika: Ingkaran, Konjungsi, Disjungsi, Implikasi & Biimplikasi. Di unduh dari https://www.ruangguru.com, pada tanggal 04 oktober 2022 pukul 23.00

Mundiri. (2003). Dasar-Dasar Logika. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Putri, V. K. (2021). Penyebab Buah Manis dan Asam. Di Unduh dari https://www.kompas.com, pada tanggal 28 September 2022 pukul 00.00.

Soelaiman, D. A. (2019). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Aceh: Bandar Publishing.

Suryajaya, M. (2022). Principa Logica . Jakarta : Gang Kabel .

Share It

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terkait