Setiap bulan September kita merayakan hitamnya bulan ini, bulan di mana terjadi banyak peristiwa kelam nan nestapa. Peristiwa tindakan pelanggaran HAM yang sampai saat ini hanya sebuah tragedi tanpa sekalipun pemerintah menepati janji pada korban. Dalam artian, peristiwa demi peristiwa pelanggaran HAM di bulan September belum bisa diselesaikan oleh negara secara berkeadilan dan mengedepankan prinsip-prinsip HAM. Meskipun, beberapa kasus pelanggaran HAM di bulan September sudah terdapat mekanisme peradilannya, namun acap kali kita tidak sedikit pun tau bukti kebenarannya. Akses pemulihan kepada korban masih absen dilakukan oleh negara.
Dari mulai tragedi ‘65 dengan aktor utama lawan politiknya PKI, yang mengakibatkan pembantaian dengan skala besar tanpa pilah-pilih, dia PKI maka dia harus MATI!!! Lalu ada peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Semanggi II yang membekas, karena terdapat 11 korban meninggal dunia karena aksi menentang RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan tuntutan mencabut dwi fungsi ABRI. Lalu ada kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib yang sampai saat ini TPF (Tim Pencari Fakta) bentukan mantan presiden SBY dan TPF bentukan presiden Jokowi tidak kunjung dibuka ke publik, yang artinya motif dari pembunuhan Munir belum bisa dijawab oleh negara.
Yang terbaru dan masih hangat adalah peristiwa Reformasi dikorupsi September 2019, aksi brutal dan represif dari aparat keamanan dengan menembakkan gas ari mata dan peluru karet secara sembarang yang mengakibatkan tewasnya Immawan Randi dan Yusuf Kardawi, mahasiswa Universitas Halu Oleo, pemuda asal Tanah Abang, Maulana Suryadi, serta dua pelajar, Akbar Alamsyah dan Bagus Putra Mahendra. Rentetan peristiwa itu tidak akan pernah hilang dalam memori bahwa negara telah tercatat melakukan pelanggaran HAM.
Hilang entah kemana dan kemana mereka hilang? Siapa mereka yang hilang dan yang hilang siapa mereka? Siapa yang tau? Tau-tau mereka yang terlibat dalam penghilangan korban menyebut dirinya tidak tau apa-apa tentang korban penghilangan. Padahal mereka sebenarnya apa-apa tau, namun mereka memilih bilang kepada keluarga korban yang hilang “tau apa kami-kami ini, kami tidak tahu apa-apa soal korban yang hilang, mungkin nanti kami tindak Sejarah kelam itu”. Namun, justru mereka malah hilang dengan janjinya.
Tahun terus berganti, namun tidak pernah janji itu di tepati dan banyak juga janji-janji diganti seiring berjalannya tahun. Mereka melihat dengan matanya kobaran pertanyaan dari keluarga korban, namun tidak bisa memberikan jawaban terhadap yang sudah hilang dan mati.
Untuk mereka yang diciduk lalu diculik, untuk mereka yang hilang dan tak kunjung pulang, untuk mereka yang sudah berjuang namun malah hilang dan dibuang, untuk mereka yang menjadi benih perlawanan namun dilawan dengan dibunuh, untuk mereka yang dinanti namun sosoknya telah mati. Semoga kalian tenang disisi Yang Maha Kuasa seperti mereka yang tetap tenang dan tidak memikirkan keluarga korban dan hanya bisa bersembunyi dibalik kuasa.
Dan untuk anak-anak yang kehilangan orang tuanya atau orang tua yang kehilangan anaknya, untuk mereka yang ditinggalkan secara paksa bukan secara fiksi, untuk mereka yang sabar menunggu kabar, semoga kita tetap kuat dalam berbuat menuntun dan menuntut pemerintah segera sadar memberikan kabar tentang sosok-sosok yang dipaksa hilang dan memberikan keadilan yang setimpal pada keluarga korban. Hidup korban dan untuk kita janganlah pernah diam, tetaplah melawan bentuk ketidakadilan.
Akhir kata, Selamat tinggal September Hitam kita jumpa kembali dalam bentuk menunggu janji yang selalu tak ditepati. Korban harus berhenti dikami!