Dalam memahami sebuah fenomena tentu tidak etis jika terlalu reduktif dan simplistis. Dalam konteks tulisan ini, tampaknya kekerasan seksual dengan latar belakang nafsu birahi menjadi persoalan yang tidak kunjung usai, bahkan dalam lingkungan kampus sekalipun. Beberapa waktu terakhir, kekerasan dan pelecehan seksual yang acap kali tak kunjung pernah masif kasusnya seakan tidak bisa kita hindari.
Serentetan kekerasan dan pelecehan seksual terus-terusan menghantui orang-orang yang hendak menuntut ilmu dengan serius di kampus. Orang-orang yang datang dengan harapan banyak untuk membanggakan orang tuanya di rumah harus merasakan ketakutan, sebab banyak hal yang tidak manusiawi yang memungkinkan mereka menjadi korbannya. Ada banyak spekulasi tentang ini, di samping juga banyak tuduhan terhadap itu. Aksi kekerasan dan pelecehan seksual inilah yang perlu dikritisi sesuai anjuran Rene Descartes.
Dalam hal ini, sebagian orang menyudutkan kelompok mayoritas yang acap kali mewartakan kekerasan dan pelecehan seksual (dalam hal ini pria yang haus akan nafsu birahi) bahkan dosen sebagai pembimbing bagi para mahasiswanya tak luput menjadi dalang utama dalam kekerasan dan pelecehan di lingkungan kampus. Narasi serupa pun dapat kita jumpai hari ini di berbagai kanal dan media sosial di kampus-kampus lain yang banyak melaporkan kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan kampus. Dari sini kemudian, muncul semacam spekulasi bahwa ornamen agama atau label Universitas Islam tidak menjamin rasa aman bagi para pelaku kekerasan dan pelecehan seksual.
Meski gerakan anti kekerasan dan pelecehan seksual sudah banyak disuarakan, namun belum bisa untuk menghentikan ancaman dari para tersangka yang haus akan selangkangan, dan motif dalam kasus ini masih belum jelas terbaca. Namun, ketika kembali pada tesis awal, yakni spekulasi yang mengarah pada nafsu birahi, tentu motifnya sedikit banyak bisa kita baca.
Sekali lagi, memang tidak pasti, apa motif dalam maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Namun, jika memang benar kelompok yang merasa superior dan haus birahi menjadi dalang dalam hal ini, motifnya tidak akan jauh dari itu. Interpretasi serampangan yang sedikit banyak telah mengelabuhi dan menafikan sisi-sisi humanis bahkan melenceng pada norma yang sudah jelas ada dalam ajaran agama. Semua orang bahkan tanpa berpikir (apriori) akan mengatakan bahwa tindakan tersebut tidak ada dalam agama. Bahkan, agama sendiri yang sering kali kita agung-agungkan tidak pernah menyukai hal demikian. Bagaimana pun kejadian seperti ini tidaklah hasrat individual, ia sering kali kolektif. Artinya, dalam melancarkan manuver-manuvernya, kelompok ini tidak sendirian, bahkan orang-orang birokrasi pun kemungkinan menjadi dalang utama dalam persoalan ini.
Jika Anda berkelana pada khazanah filsafat modern barat, tentu tidak akan asing dengan Rene Descartes. Ia dikenal sebagai bapak filsafat modern barat, yang rasional. Memang, yang diusung Descartes adalah penggunaan akal penuh, hingga beliau mencetuskan sebuah adagium monumental, cogito ergo sum. Sebelum sampai ke puncak pengetahuan, Descartes menggunakan epistemologi keraguan metodologis. Secara gampang, ia berusaha meragukan semua hal untuk mencapai kebenaran yang hakiki.
Dalam membedah kasus kekerasan dan pelecehan seksual, tepatnya yang marak dilakukan dilingkungan kampus, sekalipun kampus itu bernuansa Islam, saya akan sedikit meminjam penalaran Descartes. Meski kasusnya belum menemukan kepastian ihwal motif, saya akan meletakkan kesetiaan pada agama sebagai motif di sini. Maksud saya, kesetiaan pada agama sendiri hingga menjatuhkan harkat martabat agamanya sendiri di mata orang lain, karena wadah orang menuntut ilmu agama, sekalipun itu pondok pesantren tidak pernah menutup kemungkinan adanya kekerasan dan pelecehan seksual. Bahkan dalam kurun waktu satu tahun ke belakang kita melihat dan mendengar banyaknya oknum atas nama agamawan yang menjadi dalang dari kekerasan dan pelecehan seksual untuk orang-orang yang mempunyai niat besar dalam menuntut ilmu.
Kelompok yang merasa superior terhadap lawan jenisnya seharusnya berani berkaca pada dirinya, apakah tindakannya pantas dilakukan? Dan apakah dia pantas jika ia disebut kaum terdidik? Patut sekiranya untuk diragukan, idealis kaum terdidik tidak akan pernah sepenuhnya bebas dari etika yang sempurna, apalagi jika menyangkut nafsu birahi. Untuk menjawab keraguan metodis seperti itu, saya akan memberikan sebuah prototipe perihal agama.
Saya berasumsi dan ini memang sudah ditegaskan oleh Tuhan melalui perintahnya, bahkan sudah diperjelas oleh sabda rasul, bahwa agama itu untuk kesempurnaan akhlak yang sejatinya memprioritaskan misi kemanusiaan. Pun demikian dalam dunia pendidikan, ada sebuah misi kemanusiaan yang dibawa di mana pendidikan diharapkan untuk membentuk seseorang menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan menjadi manusia yang berakhlak mulia. Itulah sebabnya menjadi sangat aneh jika pendidikan melepas nilai-nilai agama, apalagi sampai menghilangkan nilai humanis
Dari gambaran kecil yang seperti itu, Anda bisa memasukkan pertanyaan dan keraguan metodis kemudian. Terus terang, saya tidak hendak memberikan jawaban yang pasti. Saya hanya hendak mengantar Anda pada jalan untuk meragukan hal-hal seperti itu. Bahwasanya tidak semua orang yang mengaku dirinya terdidik dapat menjadikan dirinya manusia yang berakhlak. Dan bahwasanya lingkungan Pendidikan tidak bisa lepas dari orang-orang yang kalah oleh keadaan nafsu. Maka tak dapat dipungkiri, kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan di lingkungan terdidik tidak menutup kemungkinan harus diragukan kata “didiknya” karena tidak semua orang yang merasakan bangku pendidikan akan keluar menjadi manusia yang terdidik dan berakhlak mulia. Dan sudah seharusnya, dunia pendidikan kita perlu untuk mendiskreditkan para pelaku kekerasan dan pelecehan seksual. Lebih jauh, dunia Pendidikan kita perlu untuk memberantas pelaku kekerasan dan pelecehan seksual.
Dunia pendidikan merupakan wadah bagi mahasiswa untuk mengolah prosesnya. Jujur, perlu mengajarkan bagaimana menjadi manusia, yang salah satunya mencerminkan nilai-nilai ketuhanan. Walaupun tidak bisa ditampik bahwa manusia tidak akan selalu sama. Manusia dilahirkan dengan nama perbedaan, terutama di lingkungan mahasiswa dengan latar belakang dan perspektif yang beragam. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bagi para pelaku kekerasan dan pelecehan seksual bersarang dalam dunia pendidikan kita, dan perlu kita ragukan lagi bahwa tidak semuanya orang terdidik akan menjadi orang yang berakhlak mulia.