Perempuan Khutbah Jum’at, Bolehkah?

Hari Jumat merupakan hari yang sangat istimewa dalam ajaran Islam. Hari terbaik, termulia, dan paling agung diantara hari-hari yang lainnya. Bahkan, hari Jumat menjadi salah satu hari raya bagi kaum muslimin. Orang-orang yang memasuki hari ini sudah selayaknya untuk tidak menyia-nyiakan segala waktu yang ia miliki untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, dengan beragam bentuk ketaatan dan kebaikan yang bisa dilakukannya.

Di antara rangkaian ibadah yang diwajibkan bagi umat Islam pada hari ini adalah menunaikan shalat Jumat, yaitu salah satu ibadah wajib dalam satu pekan satu kali. Setiap muslim laki-laki yang sudah terkena khitab (tuntutan kewajiban), diharuskan untuk menunaikan ibadah yang satu ini.

Lalu perempuan Khutbah Jum’at, Bolehkah?

Setiap ibadah memiliki ketentuan yang mengikat. Bila salah satu persyaratannya tidak terpenuhi, maka ibadah dimaksud tidak akan diterima.

Seperti ibadah lain, shalat Jumat juga memiliki beberapa ketentuan atau syarat keabsahan yang harus dipenuhi. Diantaranya Khutbah jum’at.

Khutbah jum’at adalah bagian dari ritual ibadah yang mempunyai syarat, rukun dan kesunnahan. Di antara rukun khutbah yang harus ada adalah sebagaimana disebutkan oleh Imam Sirajuddin al-Bulqini dalam kitab at-Tadrib, juzI hal 205 beliau mengatakan :

وأما الخطبة فيعتبر فيها اثنا عشر أمرا :

١ – كون الخطيب بحيث تصح الجمعة خلفه.

“Adapun khutbah, maka yang dianggap sah di dalamnya adalah 12 perkara: Pertama, khatibnya adalah orang yang sah menjadi imam shalat Jumat.”

Syekh al-Qalyubi dalam Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala al-Mahalli, juz 1, hal. 322 mengatakan :

ويشترط كون الخطيب ذكرا أو كونه تصح إمامته للقوم كما قاله شيخنا الرملي واعتمده شيخنا الزيادي الى ان قال وشرط الذكورة جار في سائر الخطب كالإسماع والسماع وكون الخطبة عربية

“Disyaratkan khathib seorang laki-laki atau orang yang sah menjadi imam bagi jamaah sebagaimana yang dikatakan Syekh al-Ramli dan dibuat pegangan oleh guru kami Syekh al-Zayadi. Syarat ini berlaku juga di selain khutbah Jumat sebagaimana syarat khutbah harus diperdengarkan dan didengar oleh jamaah serta syarat harus berbahasa Arab.”

Dengan demikian, Khatib yang tidak sah untuk menjadi imam shalat jumat juga tidak sah apabila dia berkhutbah. Di antara yang tidak sah tersebut tentu saja wanita sebab wanita dilarang menjadi imam shalat bagi laki-laki sebagaimana maklum dalam semua kitab mazhab fikih. Tidak perlu baper soal ini sebab ini bukan soal emansipasi, bukan pula karena wanita dianggap “najis amat” sebagaimana disangka oleh orang yang tidak paham fikih.

Berbeda halnya jika perempuan menjadi khatib sholat ‘id, terdapat ikhtilaf dikalangan ‘Ulama.

Kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafiiyah serta Hanabilah menyatakan tidak bolehnya perempuan menjadi khatib shalat id pada kasus pendirian jamaah shalat Idul Fitri yang disertai khutbah. Akan tetapi, menurut konteks pendapat al-Nawawi dalam Raudlatu al-Thalibin, karena tidak disyaratkan pendirian shalat id terdiri dari ahli Jumat, maka dalam komunitas homogen (perempuan semua), perempuan bisa mendirikan jamaah shalat id secara mandiri dan salah satunya bisa menjadi khatib sekaligus imam shalat id. Wallahu a’lam bish shawab.

Share It

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terkait