Mungkin itu bukan janji,
hanya sekadar ucapan sederhana,
namun bagiku terasa mengikat hati.
Engkau berkata lirih: “Kan kuhubungi esok pagi.”
Dan aku, seperti gadis mungil yang naif,
percaya penuh pada kalimat singkat itu,
seakan ada cahaya baru yang akan menyapaku saat matahari terbit.
Sayangnya, itu hanyalah ilusi.
Esok berganti dengan lusa,
lusa beralih menjadi minggu,
dan minggu pun menjelma bulan yang panjang.
Aku menunggu tanpa kabar,
menggenggam angan seakan ia adalah kepastian.
Sungguh, penantian ini bukan lagi menunggu,
tapi berubah jadi luka dalam pilu.
Seandainya hidup bisa tersusun rapi
layaknya simfoni,
tentu aku akan memainkan nada rindu
dengan tempo yang tepat,
harmonis, teratur, indah.
Namun kenyataan hidup hanyalah bait berantakan,
nada-nada yang saling berbenturan,
irama yang tak kunjung menemukan perhentian.
Kau adalah harapan yang tak pernah usai,
selalu menggantung di tepi cakrawala.
Seperti senja yang menunda malam,
membuatku tak pernah benar-benar pergi.
Aku memandangmu dari kejauhan,
menulis namamu diam-diam di hati,
meski waktu selalu tak berpihak.
Saat aku datang dengan rindu,
kau justru berbalik badan
dengan dalih kesibukan yang tak henti.
Aku ingin percaya bahwa hectic itu nyata,
namun jauh di relung hati aku tahu
Aku hanya sekadar pilihan one two three,
yang diingat saat sepi,
dan dilupakan ketika ramai.
Tak peduli false or true,
aku tetap bertahan meski termangu.
Rinduku padamu menepi,
hidup dengan caranya sendiri,
tumbuh bahkan tanpa kau sirami.
Seperti hujan yang tak menunggu izin,
turun deras membasahi seluruh hati.
Aku ingin mengeluh,
tapi bagaimana mungkin marah
pada sesuatu yang lahir dari cinta?
Maka kugoreskan tinta dalam kata,
agar sesak di dada punya jalan pulang.
Andai engkau tahu,
betapa setiap “esok pagi” darimu
menjadi harapan yang kunanti.
Namun akhirnya aku hanya berbicara pada hampa,
seperti simfoni tanpa konduktor.
Hidupku berjalan tanpa arah,
suara batin saling bertabrakan,
dan aku kehilangan melodi.
Anehnya rindu tetap ada,
tak menunggu restu, tak peduli logika.
Ia hanya tahu satu hal:
memandangmu dari kejauhan,
mengukir namamu di ingatan,
dan berharap suatu hari
nada-nada kita bisa bertemu.
Dan malam ini, aku menutup mata
dengan doa sederhana:
semoga esok pagi benar-benar datang,
bukan sekadar ilusi,
melainkan wujud nyata yang pernah terucap.
Hingga saat itu tiba,
aku tetap di sini
menunggu, merindu,
merangkai kisah tak rampung
dalam simfoni ilusi dan rindu.


