Skema Kapitalisme Dalam Merasuki Tubuh Pendidikan

Mulai dari tingkatan Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, salah satu permasalahan klasiknya adalah terkait mahalnya pendidikan. Pemerintah biasanya akan beralasan bahwa mahalnya biaya pendidikan di Indonesia disebabkan oleh naiknya kebutuhan operasional sekolah atau universitas. Padahal bila dicermati lebih jauh, permasalahan mahalnya biaya pendidikan juga dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi-politik yang dominan di suatu negara. Untuk itu diperlukan pembacaan ulang terkait sistem perekonomian dominan yang berkembang di indonesia terlebih dahulu, sebelum kemudian ditarik pada ranah pendidikan. hal tersebut supaya memudahkan kita untuk memandang posisi pendidikan dalam perkembangan ekonomi-politik nasional dan internasional yang bersifat dinamis.

Sesungguhnya jika kita lihat dalam konteks Indonesia, sistem perekonomian yang dominan adalah neo-liberalisme yang merupakan turunan dari sistem kapitalisme. Kapitalisme ialah sistem perekonomian yang menginginkan adanya kebebasan individu dalam menjalankan aktivitas ekonomi tanpa campur tangan negara/pemerintah. Kepemilikan pribadi atas segala benda yang bernilai ekonomis, itu pula yang di pandang ideal oleh kapitalisme. Perspektif kapitalisme dalam ekonomi ialah; bahwa aktivitas ekonomi itu akan dituntun oleh tangan-tangan tak terlihat, inilaha pijakan kapitalisme bahwa aktivitas ekonomi itu tidak boleh diganggu oleh siapapun bahkan negara sekalipun. Aktivitas ekonomi ini dilakukan semata-mata untuk mencari keuntungan (Surplus Value).

 

Perkembangan Neoliberalisme Dalam Arus Ekonomi-Politik Dunia

 

Sistem kapitalisme merupakan roh jahat yang menyeramkan karena dengan ajaibnya bisa membiaskan ketimpangan sosial yang tidak disadari oleh sebagian orang. Menurut Mansoer Fakih, kapitalisme bersumber pada pandangan filsafat ekonomi klasik, terutama ajaran Adam Smith yang tertuang dalam buku Wealth Of Nation (1776). Ekonomi klasik ini sendiri menyandarkan pemikirannya pada filsafat ekonomi liberalisme. Ciri daripada ekonomi klasik ini setidaknya ada empat yakni; Pertama, pemimpin ekonomi klasik percaya kepada laissez-faire, yaitu pandangan yang percaya akan kebebasan dalam bidang ekonomi dengan membatasi peran pemerintah dalam negara yang berkonotasi kepada bahwa pasar tidak boleh di intervensi pemerintah. Kedua, pemikir klasik percaya kepada model ekonomi pasar yang didalamnya terdapat persaingan dan kompetisi bebas. Ketiga, kepercayaan bahwa ekonomi akan berjalan lancar dan selalu mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman jika tanpa intervensi pemerintah. Keempat, memenuhi kepentingan individu akan berarti memenuhi kepentingan masyarakat.

 

Sistem ekonomi klasik ini berjalan dengan mengalami banyak kritikan oleh pemikir revolusioner pada saat itu yakni Pierre Joseph Proudhon dan Karl marx. Proudhon terkenal sebagai bapak kaum Anarkis, tulisannya yang berjudul “What Is Poverty” mampu mempengaruhi Masyarakat luas pada saat itu terutama para pemikir-pemikir pada saat itu. Didalam tulisannya, menurutnya kepemilikan pribadi merupakan pencurian dan harus dihapuskan. Karena membuat tulisan yang dianggap kontroversi mengakibatkan Proudhon dibawa ke pengadilan. Sedangkan karl marx, banyak orang mengklaim ia sebagai bapak komunisme ilmiah. Das Kapital menjadi karya monumental bagi seorang marx, halnya sama seperti karya proudhon yang dapat menyebar luas dibanyak orang, dan nafas karya ini masih hidup sampai sekarang. Isi dalam karya monumentalnya marx itu membongkar bagaimana mekanisme kerja dari kapitalisme. Kedua tokoh ini yakni marx dan proudhon itu selalu digunakan sebagai nafas gerakan perlawanan atas dominasi kelas tertentu, baik ketika mereka masih hidup maupun setelah mereka wafat.

Jalan kapitalisme tidak hanya mendapat kritik dari berbagai pemikir, namun juga menghadapi berbagai perubahan sosial dalam masyarakat setiap zaman. Sama seperti saat pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914 hingga 1919. Saat itu, berbagai infrastruktur perkotaan hancur akibat perang. Perbendaharaan negara juga dikosongkan untuk membiayai perang. Perekonomian negara-negara yang terlibat menjadi lumpuh. Banyak pabrik tutup dan pengangguran tersebar luas. Daya beli masyarakat merosot, dan perlawanan masyarakat negara-negara jajahan memecah konsentrasi negara-negara di Eropa. Situasi ini menyebabkan krisis di banyak belahan dunia, yang frekuensinya semakin meningkat pada akhir tahun 1930-an. Krisis ini dikenal sebagai “Depresi Hebat”.

Depresi hebat ini kemudian menjadi semacam bukti adaptasi Kapitalisme atas perubahan kondisi zaman, ia mampu berkesesuaian dengan setiap gerak langkah peradaban manusia. Walaupun berubah secara bentuk namun secara prinsip tidak ada perubahan. Era pasca Depresi hebat menandai berkembangnya pemikiran ekonomi neo-klasik.

Pasca menemui tantangan saat Perang Dunia I, Kapitalisme kembali mengalami krisis dalam kondisi yang hampir serupa. Tepatnya ketika terjadi Perang Dunia II, tahun 1939-1945. Uang kas negara habis untuk perang, infrastruktur yang porak poranda akibat perang. Meningkatnya angka pengangguran hingga lumpuhnya perekonomian menjadi masalah utama ketika Perang Dunia II. Ekonom dan berbagai pemimpin dunia berkumpul di Resort Gunung Washington dekat Bretton Woods, New Hampshire, pada Juli 1944. Lebih dari 700 delegasi dari 44 negara, termasuk John Maynard Keynes turut hadir juga disana. Hasil dari konferensi ini adalah perjanjian Bretton Woods. Perjanjian ini menstabilkan mata uang internasional dengan mengelompokan mereka ke nilai emas. Tetapi warisan utama adalah lahirnya tiga institusi internasional baru: Pertama, The International Monetary Fund (IMF), yang bertugas mengelola sistem moneter baru; Kedua, The International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), bertugas memberi pinjaman kepada negara-negara yang membutuhkan yang saat ini menjadi World Bank; Ketiga, The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), bertugas membentuk dan mendorong perjanjian perdagangan.

IMF, IBRD, dan GATT berhasil membangun kembali perekonomian dunia. Ketiga lembaga ini memberikan pinjaman kepada negara-negara yang hancur akibat Perang Dunia II, namun pinjaman tersebut tidak gratis. Misalnya, IMF dan IBRD memiliki persyaratan bahwa setiap kali suatu negara mengajukan usulan permohonan pinjaman, lembaga-lembaga tersebut mengharuskan negara tersebut untuk mereformasi berbagai peraturan di negaranya yang menghambat investasi. Hal ini bertujuan untuk memungkinkan berbagai perusahaan multinasional (MNC) dan perusahaan transnasional (TNC) dengan bebas menginvestasikan modalnya di negara-negara tersebut. Perjanjian Bretton Woods sekali lagi membawa kapitalisme keluar dari krisis.

Rasa kebugaran kapitalis dalam Perjanjian Bretton Woods karena mampu melakukan gerakan progresif itu hanya berlangsung singkat. Pada tahun 1970-an, sistem ekonomi kapitalis kembali diguncang krisis. Krisis ini disebabkan oleh keterlibatan Amerika Serikat (AS) dalam Perang Vietnam. Perang Vietnam menghabiskan sebagian besar utang nasional AS. Pada saat itu, nilai tukar dolar AS terhadap emas sedang terdepresiasi, sehingga pada tahun 1971 Presiden Richard Nixon menghapus dolar AS dari standar emas. Krisis ini berlangsung hingga tahun 1980-an, ketika Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher dan Presiden AS Ronald Reagan memperjuangkan sistem ekonomi baru yang kemudian disebut neoliberalisme.

Jika kita pandang melalui perspektif bahasa kata Neoliberalisme berasal dari kata neo, liberal, dan isme. “Liberal” disini dimaksudkan sebagai liberal dalam pengertian ekonomi, bukan dalam artian lain seperti politik. Sedangkan”neo” merujuk pada bangkit atau kelanjutan dari sistem ekonomi liberal yang dulu ada. “isme” bermaksud paham atau sistem pemikiran. Sehingga neoliberalisme kemudian bermakna sebagai sistem pemikiran ekonomi yang melanjutkan perjuangan sistem ekonomi liberal. Dikatakan melanjutkan karena setelah Depresi Hebat tahun 1930, aktivitas perekonomian dunia menguatkan peran negara, dengan gagasan Welfare State. Neoliberalisme hadir untuk menentang itu semua. Keterlibatan negara dalam perekonomian adalah sesuatu yang keliru. Berbagai permasalahan ekonomi seperti kemiskinan dan kenaikan harga barang-barang tidak boleh disikapi pemerintah dengan memberikan subsidi, jika pemerintah ikut campur urusan pasar itu akan merusak laju perekonomian. Biarkan pasar menyelesaikan permasalahan tersebut sendiri. Begitu kira-kira argument penganut paham ini.

Setelah lahirnya Washington Consensus (Kesepakatan Washington) tahun 1989 membuat neoliberalisme merasakan angin segar sekaligus menadapatkan legitimasi kuat. John Williamson menyebut bahwa ada 10 kesepakatan dalam Kesepakatan Washington, yaitu; (1) menertibkan/mendisiplinkan fiscal, (2) mengarahkan kembali pengeluaran masyarakat untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, (3) reformasi perpajakan, (4) liberalisasi tingkat suku bunga, (5) tarif kurs yang kompetitif, (6) pasar bebas, (7) liberalisasi penerimaan langsung dari luar negeri, (8) privatisasi, (9) deregulasi, dan (10) penjaminan hak milik.

Kita sadar betul point-point yang yang terdapat dalam perjanjian diatas itu merupakan Upaya neoliberalisme untuk mengarahkan perekonomian dunia itu pada perdagangan bebas, minimalisir peran negara dalam perekonomian, dan stabilitas makro dalam ekonomi.

Kemudian, setelah terbentuknya Perjanjian Washington, GATT menjadi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 1994. Perubahan ini terjadi pada perundingan Putaran Uruguay yang diselenggarakan di Marrakesh, Maroko. Misi utama WTO tidak jauh berbeda dengan GATT, yaitu mengembangkan aturan perdagangan bebas global. Namun, WTO didirikan bukan untuk menindak negara-negara anggota yang tidak mengikuti aturan, melainkan untuk menindaklanjuti keluhan dari negara-negara anggota. Indonesia juga menghadiri pertemuan ini dan menandatangani perjanjian pembentukan WTO. Bentuk kesepakatan ini tercermin dalam dikeluarkanya UU. No. 7 Tahun 1994, tentang ratifikasi Organisasi Perdagangan Dunia. Dengan ikut sertanya Indonesia dalam perjanjian pembentukan WTO, maka arah perekonomian Indonesia selama ini resmi bertumpu pada sistem perekonomian neoliberalisme.

 

Masuknya Roh Jahat (Neoliberalisme) Dalam Ranah Pendidikan

 

Dari banyaknya Uraian panjang diatas tentang perkembangan sistem perekonomian yang ingin merasuki sektor pendidikan merupakan gambaran umum mengenai sistem ekonomi yang hari ini dianut di Indonesia. Yang menjadi Pertanyaan ialah apa korelasi realita tersebut dengan pendidikan? Disini letak menariknya. Kebanyakan corak berfikir masyarakat biasanya menganggap bahwa pendidikan adalah bidang yang netral dari kepentingan ekonomi tertentu, dan bertujuan dengan narasi besarnya ialah “mencerdaskan”. Namun kenyataan yang terjadi menunjukan sisi sebaliknya. Pendidikan nyatanya bisa dirasuki oleh roh jahat yang ingin menghisap dan membuat re-orientasi pendidikan yang sejatinya selaras dengan narasi besarnya yakni ”mencerdaskan”.

Pada tahun 2001, WTO mengadakan pertemuan di Doha, Qatar. Konferensi tersebut membahas liberalisasi perdagangan dunia. WTO membagi liberalisasi perdagangan global menjadi dua kategori: General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yakni; Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan dan General Agreement on Trade in Services (GATS) yakni; Perjanjian Umum tentang Perdagangan Jasa. Melalui GATS, pendidikan tergolong sebagai jasa dalam perdagangan global, bersama dengan 11 sektor lainnya. Dimasukkannya sektor pendidikan ke dalam 12 sektor jasa yang dapat di perdagangkan menunjukkan bahwa pendidikan tidak netral atau tidak akan lepas dari jeratan kepentingan ekonomi kapitalisme atau neoliberalisme.

Sesungguhnya, Pengelolaan pendidikan dalam kacamata Neoliberalisme pun diarahkan agar serupa dengan pengelolaan pasar bebas beserta berbagai prinsip yang mendasarinya. Prinsip tersebut seperti Liberalisasi, Privatisasi, dan Deregulasi. Ketiga prinsip ini menjadi sistem pendidikan di banyak negara penganut Neoliberalisme, termasuk Indonesia. Persis seperti dalam mekanisme ekonomi, Neoliberalisme menginginkan agar pendidikan di kelola secara otonom oleh dirinya sendiri tanpa campur tangan apapun dari siapa saja termasuk negara. Negara hanya berfungsi menjaga agar otonomi lembaga pendidikan ini tidak terganggu. Kondisi ini yang dikemudian hari disebut Liberalisasi Pendidikan, yaitu suatu kondisi dimana peran negara diminimalisir bahkan dihilangkan dalam penyelenggaraan pendidikan. Peran yang dihilangkan ini salah satunya adalah kewajiban pembiayaan pendidikan. Tidak heran jika kemudian masyarakat banyak mengeluhkan mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, sebab besar kemungkinan mahalnya biaya pendidikan dipengaruhi oleh Liberalisasi Pendidikan yang sedang terjadi.

 

Praktik Liberalisasi Pendidikan Di Indonesia

 

Dalam praktik liberalisasi Pendidikan yang tidak disadari oleh banyak orang, sebetulnya kitab isa melihat akar rumputnya setelah ditanda tanganinya kesepakatan pendirian WTO dan keluarnya UU No. 7 Tahun 1994. Ciri-ciri terjadinya Liberalisasi Pendidikan mulai terlihat ketika pemerintahan Indonesia pada Tahun 1999 itu mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 Tahun 1999 Tentang Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Substansi pokok PP ini adalah perubahan status perguruan tinggi negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Ada beberapa Kampus yang statusnya BHMN mendapat otonomi dalam bidang akademik maupun non-akademik secara penuh untuk mengelola dan menyelenggarakan pendidikan tinggi. Kampus-kampus yang berubah menjadi BHMN antara lain; UGM, Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Airlangga (Unair). Perubahan status perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi BHMN, secara perlahan mengubah watak dan karakter PTN yang bersangkutan, dari yang tadinya PTN publik, berubah menjadi PT privat. Hal demikian setidaknya bisa kita lihat bagaimana privatisasi itu coba dilakukan kepada pendidikan khususnya pendidikan tinggi dengan orientasinya untuk mendapatkan keuntungan (Surplus value).

Perkembangan Liberalisasi Pendidikan mulai terlihat jelas dengan keluarnya UU. No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). UU Sisdiknas disinyalir merupakan turunan dari kesepakatan yang ada dalam GATS. Walaupun Indonesia baru meratifikasi perjanjian tersebut pada Tahun 2005, namun tidak dapat dipungkiri kuatnya nuansa pesanan kepentingan neoliberalisme dalam UU ini begitu terasa. UU Sisdiknas sendiri menuai banyak kontroversi, kontroversi tersebut dipicu salah satunya karena pada pasal 50 ayat (6) yang berbunyi, “Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.” Serta dalam pasal 53 ayat (1), (2), (3), dan (4) yang membahas mengenai BHP (Badan Hukum Pendidikan). Pasal 53 ini merupakan kelanjutan dari PP No. 61 Tahun 1999 Tentang PTN sebagai BHMN. Kedua pasal ini dipandang sebagai contoh pasal yang melanggengkan praktik Liberalisasi Pendidikan.

Sebenarnya, Dengan adanya otonomi itu satu sisi membawa dampak positif karena pengembangan keilmuan bisa disesuaikan dengan kebutuhan lembaga pendidikan itu sendiri. Namun sisi negatifnya, otonomi kampus membawa dampak pada hilangnya peran negara dalam penyelenggaraan pendidikan. Kasus mahalnya biaya kuliah sebelum adanya UKT adalah contoh menarik dari pemberlakuan otonomi kampus. Kita pasti sadar betul bahwa sebelum adanya UKT terdapat beragam pungutan pendidikan kepada mahasiswa. Seperti, uang gedung, SPP, uang SKS, dan lain-lain. Banyaknya pungutan ini disebabkan tuntutan pemerintah kepada kampus agar meningkatkan kualitas pendidikan di kampusnya. Hanya saja masalahnya besaran subsidi dari pemerintah cenderung tetap dan bahkan menurun. Konsekuensinya pengelola kampus yang diberikan otonomi, mencari sumber pendapatan lain diluar pemerintah. Inilah yang menjadi persoalanya, Sumber pendapatan paling mudah adalah dari mahasiswa. Maka tidak heran jika kemudian kampus-kampus menarik banyak pungutan kepada mahasiswa. Implikasi banyaknya pungutan ini membuat biaya kuliah menjadi amat mahal. Contoh ini menunjukan bermasalahnya praktik otonomi kampus yang menghilangkan peran negara dalam pendidikan. Setelah UU Sisdiknas disahkan, pada Tahun 2005 pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meratifikasi perjanjian GATS. Penandatanganan ini semakin menunjukan terjadinya Liberalisasi Pendidikan. Setelah menandatangani GATS, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lalu mengeluarkan UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, yang diikuti penerbitan Peraturan Presiden RI (Perpres) No. 76 Tahun 2007 dan Perpres No. 77 Tahun 2007. Kedua Perpres ini menyatakan bahwa Pendidikan merupakan bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal asing maksimal sampai 49%. Dengan terbukanya pendidikan untuk modal asing, terbukalah jalan bagi modal masuk ke sektor pendidikan. Masuknya modal ke dunia pendidikan akan berimplikasi pada orientasi pendidikan yang hanya untuk mencari keuntungan semata.

Pendidikan hari ini bagaikan pabrik yang terus memproduksi para komoditas yang nantinya bisa menjadi bahan bakar bagi Perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh kelas borjuis. Orientasi Pendidikan yang sejati mulai tercerabut dari akarnya, kita dipaksa untuk menonton praktik busuk yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan. Penutupan akses terhadap kaum proletar sangat vulgar dengan terus naiknya biaya Pendidikan sedangkan tidak seimbang dengan pendapatan perkapita keluarganya.

 

Kesadaran Adalah Matahari

Kesabaran Adalah Bumi

Keberanian Menjadi Cakrawala

Dan Perjuangan Adalah Pelaksanaan Kata-Kata

”W.S. Rendra”

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Fakih, Dr. Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Institute Press & Pustaka Pelajar. 2013.

Siradjudin, Effendi. Nation in Trap: Menangkal ‘Bunuh Diri’ Negara dan Dunia. Yogyakarta: Esit Institute & Pustaka. 2020

Ridwan, Nur Khalik, NU dan Neoliberalisme. Yogyakarta: LKiS. 2012.

Darmaningtyas, Edi Subkhan, Fahmi Panimbang. Melawan Liberalisme Pendidikan. Malang: Madani. 2014.

UU No. Tahun 1994 Tentang Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia

PP No. 61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum

UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

Perpres No. 76 Tahun 2007 Tentang Kriteria Dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal

Perpres No. 77 Tahun 2007 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.

Share It

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terkait

Laporan Pertanggungjawaban

Kementerian Komunikasi & Informasi

Untuk melihat Laporan Pertanggungjawaban Kementerian Komunikasi & Informasi, silahkan klik link berikut : https://drive.google.com/file/d/15PpF2uZYyY0xPGhE2477BT2t-5RNSETG/view?usp=drivesdk  

Read More »
Laporan Pertanggungjawaban

Kementerian Pemuda dan Olahraga

Untuk melihat Laporan Pertanggung Jawaban Kementerian Pemuda & Olahraga silahkan klik link berikut : https://drive.google.com/file/d/1bZh8uKzRfTTOPIAhgsMkkmaEKDJq58kI/view?usp=drivesdk

Read More »
Laporan Pertanggungjawaban

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Untuk melihat Laporan Pertanggung Jawaban Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan silahkan klik link berikut : https://drive.google.com/file/d/1XmJ4m5jBksWSFqxDJsf2s6iAm7LKu4vo/view?usp=drivesdk

Read More »